JOURNAL OF SOLITUDE

Solitude is my idea, to meet God

Selasa, 11 Agustus 2015

Tempat Bertafakur


___dapur
Aku tidak mengerti apa yang mestinya direnungi
Tempatku menjamah pagi dengan sentuhan hati-hati
Perapian selalu diciptakan
Menyulut hari tanpa menggulut matahari

Ada yang perlu kita bicarakan, bukan?
Dari garam yang bulirnya tidak lagi karam
Sebagai bukti iman tanpa banyak pertanyaan
Siungan bawang brambang jangan dibaurkan ya, sayang
Kemana nafsu putih merahmu mesti dipisahkan
Butiran merica dan ketumbar juga kita takar
Mencermati angan masakan agar rasanya tidak tertukar
Bulir beras tak usah kau hitung
Seperti kasih sayang yang selalu berkunjung

Kau tentu telah menyiapkan cobek serta anaknya
Sebatang pisau diasah di gerenda
Selembar talenan menyaput segala luka
Luka dari sayur atau lauk lainnya
Mengakhiri hidup dimutilasi tangan perempuan
Katamu,
“Hey perempuan, jangan menderita dari liku lukamu
Api tungku telah mengungkapkan rindu-rindu”

__sumur
Kenapa kau pergi menutup perigi di sebelah kamar mandi?
Mata air adalah batinmu yang tidak goyah di segala musim
Hidup kadang jadi pongah, sebab lupa pada rahmah yang ruah
Hanya seperangkat timba yang memahami kedalaman cinta
Memberiku bening air terjauh

__taman
Sayang, maukah kau kuajak pergi ke sebuah taman?
Menghitung daun-daun yang gugur dari lengan ranting
Tetapi kita tidak jumpa pada panas berdenting
Ingatlah, aku akan memelihara debar yang mendebur di dada
Lebih dari ketika duduk di bangku pertemuan kita


Purwokerto, 06 Agustus 2015 

Senin, 10 Agustus 2015

Rumah dan Beberapa Kolam Kecil

Di rumah yang kutinggali, terdapat beberapa kolam ikan. Seringkali, aku menyebut rumah itu sebagai kastil. Entah bagaimana aku mengakuinya, sebab di tepi kanan ada kolam yang serupa sungai sampai belakang rumah. Tepian kolam itu dibatasi dengan dinding tebing yang tingginya hampir sampai atap rumah. Sampai belakang rumah, masih dikelilingi kolam itu. Di depannya, ada kolam ikan juga. Tepian kolam dihiasi bunga-bunga. Tetapi akhir-akhir ini, hanya dihiasi beberapa pot tanaman cabai, sawi, kol, terong, jahe, kunyit, muncang, dan yang tidak bisa kusebutkan satu per satu. Belum lagi, di bawah samping kiri rumah saya, terdapat kolam. Menurutku, kolam inilah yang paling bagus. Sebab, paling alami. Di tepian tebingnya ada pohon asam. Bawahnya ada tumbuhan pandan yang harum itu. Di situlah terdapat mata air yang airnya mengalir tak mengenal musim. Jernih.
Bila kau tidak percaya, mainlah ke rumahku, Sayang. Akan kuajak kau melihat ikan-ikan. Tentu, akan kukenalkan padamu bapak dan mamaku. Bagaimana? Kau mau kan?

Kolam Kecil

/1/
pada mata air yang butirannya bergulir
kemarau sepadam dendam

kepadamu kubuatkan belik
tiga ruas bambu kusimpan dalam sunyi
kerikil, pasir,
merebah serupa pusara

kolam kecil
dengan ikan-ikan mujair
kuletakkan bibir
mengecup wajah bening

aku menerima basah jilbabku
yang menyulapku
jadi kupu-kupu

/2/
seekor burung paruh udang
terburu-buru mengetuk basah
dari ikan paling terkutuk

aku tak mampu memburu
pencuri menjejakkan kuyupnya
menghapuskan waktu

kolam kecil penuh mata air
tertidurlah
dalam buaian lumpur

/3/
dua gadis kecil
setiap pagi mandi
di pinggir sendang
tanpa rahasia

padahal mimpi-mimpi masih menguntitnya
mengintip lewat dzikir rumpun perdu
betapapun diisap beku

Purwokerto, 03 Agustus 2015


Tiga Sajak untuk Mengenang Lengang



Flanel

Kabu-kabu kubuka dari mata penuh warna
setiap kugunting tak nyampai berdenting
menyobek segala yang bergetar sampai gusar

telah kuulurkan tanganku untuk menggenggammu
sehingga mataku makin melebur kabur
jatuh lewat remah-remah tubuhmu tubuhku

tidak lupa kutumpahkan doa pada semesta
agar pemotonganmu selesai tanpa luka
maka bersabarlah menahan rasa sakit
sampai gunting makin selesai menderit
pun sebentar lagi orang-orang akan memujimu
sebagai ameba yang tidak mengenal pilu

Kembaran, 28 Juli 2015



Kepada Pacarku

Kita mesti melihat senja dari tepi dermaga
Segala pandangan menjadi berakhir di mata
Rahim langit adalah samudra yang airnya bergulung
Mengekalkan cahaya sebelum udara mengabut

Maka beritahu aku bagaimana cara melepas rindu
Selain menyelesaikan doa kepergian

Selok, Mei 2015



Memotret Siluet

Kumulai dari memesan punggung cahaya
Rambut seorang wanita dikecup angin
Gaunnya berkelebatan membayang hitam
Membentuk pose tubuh dipeluk cakrawala

Pada hitungan ketiga segalanya terdiam
Warna pelangi turun ke arah tangan
Yang melengkung memanjatkan doa

Masih kau ingin memesan bukit di seberang
Membuat sudut pandang paling beda
Tebing gamping, bukit kecil, muara,
Lekuk wajah wanita?


Selok,  31 Mei 2015

Puisi ini dimuat di Tanjungpinang Pos edisi 09 Agustus 2015.

Puisi berjudul "Kepada Pacarku", entah buat siapa. Mungkin buat kamu, jika kamu mau jadi pacarku. 

Bukan Lagi Merayakan Luka

Ternyata, hari ini saya belajar mengenang. Oh ya. Jika kamu jatuh cinta kepada saya, saya sarankan untuk tidak membacanya. Sebab, saya tidak ingin kamu merasa patah hati yang terlalu duka.
Pada senja yang begitu memesona, lalu-lalang orang dan kendaraan memadati sebuah gelanggang olahraga. Di sebuah pertandingan sepak bola kampung, saya baru saja ingin menonton setelah pada pertandingan seperempat final. Dengan tubuh yang lengang, awalnya saya mengelilingi separuh tempat penonton yang merayakan kebahagiaan. Tiba-tiba tatapan saya tertuju pada tempat yang kosong untuk sekedar duduk sambil menonton. Dengar! Baru kali ini saya berniat untuk menonton pertandingan sepak bola. Saat itulah, saya menghampiri seorang lelaki yang menyendiri. Tanpa ragu, saya langsung duduk di sebelahnya sambil menyapanya. Hanya sekedar “Hai” saja, pandangannya ke arah saya dengan tiba-tiba. Kami hanya saling menatap dan menyunggingkan senyum. Sejenak. Hanya sejenak. Kemudian kami merayakan hening. Kembali pada pikiran masing-masing.
Ya, lelaki itu adalah mantan pacar saya. Hei? Kamu tidak percaya kalau saya pernah punya pacar ya? Saya juga kurang percaya kalau saya pernah pacaran. Tetapi tenanglah, kamu jangan langsung cemburu begitu. Setelah tiga tahun tidak bersamanya, saya tetap menikmati sepi. Membuat pacar bayangan yang kuberi nama Han. Percayalah, saya bercerita sesungguhnya. Han adalah sebuah nama yang—menurut saya—menjadi tameng untuk mempertahankan kejombloan saya. Sebab, ada beberapa laki-laki yang suka menggoda saya, padahal saya tidak suka. Tidak suka sama sekali.
Baiklah, kita kembali lagi pada senja di pertandingan sepak bola. Setelah seluruh keberanianku untuk menyapanya terlebih dahulu, pandangan saya mencoba untuk membuntuti kemana bola pergi.
“Apa kabar?” tanyanya sebagai pembuka. Ia menatap saya. Penuh.
“Baik.” Saya hanya menjawab singkat. Sebab tidak ada keberanian lagi untuk bicara. Sampai saat ini, masih saja ada debar yang mendebur dalam dada. Entah mana yang mesti saya jaga. Mencintainya kembali atau tetap sendiri. Tenanglah, Sayang. Saya tidak akan kembali padanya. Kami hanya saling bertanya soal kuliah masing-masing. Tidak lebih. Itu saja.
Saya memperbaiki duduk saya, dengan lutut ditekuk di depan dada lalu dipeluk kedua lenganku. Dia juga, bergeser sedikit lebih jauh dari saya. Seperti ada yang mesti kami jaga; jarak. Kami tidak saling bertanya soal cinta setelah berpisah. Tetapi jantung ini, seperti direngkuh lagi olehnya. Entahlah, bagaimana perasaan dia.
Sampai detik-detik akhir pertandingan, kami benar-benar tidak menikmati berapa kali ada gol tercipta.
“Ayolah pulang.” Kata saya. Hanya itu. Tidak ada senyuman sama sekali. Biasa saja. Kami hanya saling menjauhkan punggung ketika penonton lalu-lalang meninggalkan gelanggang.

Lapangan Walisongo, 06 Agustus 2015, 18.00 WIB.


Pintu, Rumah, dan Syukur

Sudah lama saya tidak menuliskan surat buatmu, Sayang. Apa kabar sampai hari ini? Ada yang lengang dari anganku. Barangkali bayangmu telah lesap dipeluk waktu. Tetapi saya begitu menikmati hidup yang baru; tanpamu. Saya punya pacar baru, sebut saja namanya puisi. Dia menjadikanku selalu insomnia, jadi menyukai wedang teh dan kopi, dan mengajariku menjadi perempuan.
Di liburan menuju kuliah semester V, ada yang harus saya syukuri. Pertama, saya bersyukur karena sudah dua tahun mengenalmu. Di sebuah musim yang mengajakku untuk mencium aroma hujan, saya mengenal wajahmu serupa puisi. Entah, ada berapa puisi yang kutujukan kepadamu, tetapi tetap saja saya sembunyikan perasaan ingin memiliki. (Abaikan hal ini!!) Kedua, saya mesti bersyukur sebab Indeks Prestasi semester IV berjumlah 3,72. Saya sungguh tidak puas dengan itu. Apalagi nilai sebuah mata kuliah dengan bobot 3 SKS harus mendapat nilai C+. Barangkali ini pertama kali saya kuliah dengan nilai sejelek itu. Tetapi kata teman-teman saya, IP itu sudah tinggi. Baiklah, tugas saya hanya mensyukuri. Ketiga, saya juga harus bersyukur, saya bisa mengenal puisi. Beberapa puisi saya sudah dimuat di media massa. Saya tidak peduli dengan jangkauannya, baik lokal maupun nasional. Ada satu hal yang harus saya ingat, saya mempunyai doa ibu.
Percayalah, Sayang. Saya mencintaimu. Bukan karena puisi, kata-kata, atau parasmu yang rupawan. Ada debar yang ingar ketika kamu lewat dalam bayang. Belakangan ini saya mengingat sebuah benda bernama over pal. Saya menginginkan bersamamu sepertinya. Bagaimana? Di sebuah pintu yang berderit, kamu juga suka memainkannya, membuka dan menutupnya, menikmati suara jerit pintu yang aus. Saya pernah kehilangan kunci pintu. Tidak ada yang bisa menemukannya, apalagi kunci itu hanya satu. Suatu hari, dengan melewati jendela layaknya pencuri, seseorang masuk untuk mendobraknya dari dalam. Kebetulan pintu itu terdiri dari dua potong. Hari itu juga, saya ke sebuah toko besi dan membeli over pal bersama gembok. Saya terdiam di depan benda material bangunan itu, tetapi ada yang saya inginkan dari mereka. Soal over pal, satu bagian dengan bagian lainnya ada kalanya terbuka, menjauh, dan sama-sama menunggu seorang menutup pintu. Merekatkannya kembali, ke dalam kesetiaan yang tak terbatas. Satu lagi, saya juga membeli gembok. Tentu saja, Sayang, bersama kuncinya. Bukankah sebuah kunci hanya akan bisa memasuki gembok yang satu; jodohnya, dan tidak akan mau membuka hatinya kepada gembok yang lain? Ini bukan soal impianku untuk pergi ke Paris lalu menggembok cinta kita. Bukan. Sama sekali saya tidak memikirkan itu. Tetapi kita pun harus memilih. Kamu menjadi over pal atau menjadi gembok. Agar kita saling menutup rapat daun pintu yang rusak itu, dengan sederhana yang paling puisi.


Purwokerto, 06 Agustus 2015, 00.00 WIB.