Entah dari mana
Eyang Kakung membawa seekor burung puter berbulu cokelat muda itu. Tiba-tiba
sore ini sudah tergantung sangkar di atap depan rumah. Pada lehernya terdapat
warna melingkar seperti kalung, berwarna putih dan hitam yang menggaris. Bulu
tubuhnya berwarna cokelat muda merata. Di pinggiran sangkar bagian dalam
tergantung seuntai gandum dan wadah kecil berisi air untuk makan dan minum.
Sesekali burung
itu manggung dengan merdunya. Kuk gerrruuk, kuk gerrruuk, koak.
Kira-kira begitulah bunyinya, jika dituliskan dengan kata-kata. Hampir sama
dengan suara rekaman burung yang selalu kudengar di RRI, sebelum memutar lagu
Indonesia Raya setiap pagi. Anehnya, baru hari ini burung itu berada di rumah,
Eyang Kakung sudah menamainya dengan sebutan “Badri”. Entahlah, nama itu terilhami
dari mana.
Anehnya lagi,
setiap Eyang Kakung memanggil nama “Badri!”, pasti burung itu langsung
manggung. Kuk gerrruuk, koak. Kuk gerrruuk koak. Aku sendiri merasa
heran dengan tingkah Eyang Kakung dan Badri itu. Pernah aku mencobanya sekali
memanggil Badri dengan nada seperti Eyang memanggilnya, tetapi tidak ada respon
dari burung itu untuk manggung seperti biasanya.
Aku mengerti,
barangkali Eyang Kakung dan Badri sudah saling jatuh cinta. Buktinya saja,
setiap kali Eyang memanggil nama Badri langsung saja dia manggung. Entah di
waktu pagi, siang, bahkan malam. Di dini hari, sekitar jam dua, Eyang memang
selalu bangun malam. Dan mulai dari dini hari ini, ia panggil nama Badri lagi.
“Badrii!”
“Kuk gerruuk,
koak.”
Sekali lagi aku
heran. Burung puter bukanlah makhluk nokturnal, tetapi dalam tidur burungnya
tetap saja menyahut panggilan dari Eyang kakung.
Eyang kakung
bersama Eyang putri sejak dulu memang sudah senang memalihara jenis unggas. Andai
saja musim lalu tidak ada pemusnahan unggas dari dinas kesehatan, kandang
sebelah rumah ini masih penuh dengan puluhan bebek dan ayam. Demi menjaga nyawa
manusia dan menurut kepada pemerintah, Eyang tidak keberatan dengan pemusnahan
unggas miliknya.
Sejak musim flu
burung itulah, Eyang kakung seperti kehilangan separuh jiwanya. Aku pun
merasakan kehilangan dari suara bebek dan ayam yang selalu menciap setiap saat.
Sejak adanya Badri di rumah ini, aku merasa ada nyawa baru lagi di dalam jiwa
Eyang.
Hampir setiap
hari usai pulang sekolah, aku disuruh untuk memetik seuntai gandum yang
tertanam di kebun belakang rumah. Meski Mama selalu berteriak padaku untuk
mengganti baju merah putihku terlebih dahulu. Tetapi teriakan itu selalu tidak
kuindahkan. Barangkali aku pun sama seperti Eyang Kakung yang sudah jatuh cinta
terhadap Badri.
***
Suatu sore yang
melupakan lembayungnya. Gerimis merinai sejak dua jam yang lalu. Eyang Kakung
belum juga pulang dari rumah Ua. Badri yang sedari tadi tergantung di beranda
rumah mungkin merasa kedinginan. Tetapi aku membiarkan saja, juga Mama dan
Eyang Putri.
“Gubrak!”
Suara itu
terdengar dari dalam rumah. Mama dan Eyang Uti tidak mempedulikan hal itu. Tetapi
aku segera menghampiri suara itu berasal. Badri. Ya, Badri sudah mengelepar di
sangkarnya yang jatuh. Gantungan besi dari kandang Badri terlepas begitu saja.
Barangkali karena rapuh. Aku segera memasukkan ke dalam rumah burung itu. Meski
masih dengan kandang yang reyot.
Tidak lama
kemudian, Eyang Kakung pulang dengan pakaian yang agak basah. Aku menunggunya
di depan pintu. Inginku segera menceritakan apa yang telah terjadi. Aku
mendengar Badri masih saja manggung. Barangkali dia mengatakan sakit yang
sedang ia rasakan.
“Eyang, sangkar
Badri roboh. Baru saja terjatuh.” Kataku, sebelum Eyang mengatakan kehilangan
sangkar burung yang tergantung di beranda rumah.
Eyang masuk ke
dalam dan memeriksa sangkar yang rusak. Dipanggilnya Badri dengan suara yang
merdu. Dan langsung saja Badri manggung lagi.
“Eyang mau ke
rumah uak lagi ya, pinjam sangkar burung yang tidak terpakai.” Ijin Eyang
kepadaku.
Aku mengiyakan
dan segera masuk ke ruang dalam, untuk menceritakan kepada Eyang Putri. Dengan berjingkat,
aku sudah mendapati Eyang Putri yang berada di dapur. Namun tiba-tiba aku
mendengar suara serupa Badri terjatuh lagi.
“Gubrak!”
“Badri! Mira!”
teriak Eyang.
Dengan
tergopoh-gopoh, aku menjumpai Eyang Kakung lagi. Kali ini bukan sekedar
Badri yang terjatuh. Tetapi Eyang
sendiri yang terpeleset di lantai yang masih terkena rinai gerimis.
“Mama! Yang Uti!
Yang kakung kepeleset!” teriakku dengan buliran air yang tiba-tiba timbul di
sudut-sudut mata.
Aku segera saja
berlari ke rumah ua untuk meminta pertolongan. Ua beserta anak-anaknya
berlarian menuju rumahku dan segera membopong Eyang kakung ke dalam kamar. Aku tidak
melihat kejadian itu, karena aku masih bertanya kepada gerimis yang merusak
kedamaian senja.
Mama segera saja
mengundang dokter ke rumah untuk memeriksa Eyang. Dokter hanya memberikan obat
penenang rasa sakit dan mengatakan bahwa tulang lutut yang menghubungkan tulang
kering dengan tulang paha Eyang patah. Mama ingin segera saja mengantarkan
Eyang kakung ke rumah sakit untuk memasang kembali tulang yang patah agar
seperti semula. Namun Eyang tidak setuju dan tidak mau pergi ke rumah sakit. Alasan
Eyang adalah tidak mau digips, karena gips hanya akan menambah rasa sakit saja.
Eyang mengatakan itu karena memang tiga tahun yang lalu pernah digips pada
bagian bahu dengan sebab tertabrak motor saat menyeberang di jalan.
Hari-hari
berlalu. Eyang kakung hanya terbaring di dipan bilik kamarnya. Ruang kamar yang
berada di dalam, jauh dari keberadaan Badri yang selalu dipanggilnya. Sejak
kejadian beberapa waktu yang lalu, Badri menjadi jarang manggung. Meskipun
sesekali suaranya masih terdengar merdu.
Aku begitu
menyukai Badri yang elok itu. Diberinya seuntai gandum yang tiap hari kupetik
di kebun samping rumah. Jika mau, kumandikan ia dengan semprotan. Lalu ia
bergidik. Tidak peduli ia sudah kedinginan atau belum. Aku selalu suka
melakukan itu. Karena bulunya yang licin tidak mudah terkena air.
Selalu saja Mama
menggangguku. Mama bilang, tidak bagus aku_sebagai anak perempuan_ menyukai
burung. Alasannya karena menjadikanku lupa dengan tugas dari sekolah. Malah,
Mama akan membebaskan Badri untuk hidup di alam bebas. Namun aku tidak
mengindahkan hal itu. Aku pikir menyayangi Badri adalah menyayangi Eyang
Kakung.
***
Suatu pagi di
bulan Desember. Kabut memeluk atmosfer. Menjatuhkan embunnya di tanah dan
rumput-rumput hijau. Aku membuka jendela dan pintu yang masih terkunci. Seperti
biasa, kulihat Badri yang kedinginan di gantungan atap beranda. Tetapi tidak
untuk pagi ini! Aku tidak menemukan burung puter itu kedinginan. Mataku
mengitari seluruh lingkar sangkar; tidak ada. Pintu sangkar agak terbuka.
“Badri!” teriakku
dengan menebar pandangan ke segala arah.
Kuk gerrruuk,
koak. Kuk gerruuk,
koak.
Badri, seekor
burung puter yang sudah lama bertengger di sangkar atap beranda, kini berada di
atas rerumputan samping rumah yang masih mengembun. Aku berusaha menangkapnya.
Tetapi terburu ia terbang dan hinggap di dahan pohon mangga.
“Eyang, Badri
lepas dari sangkar. Mira mau menangkapnya tapi Badri keburu terbang.” Kataku
kepada Eyang kakung, yang kutemui dalam pembaringan di atas dipan.
“Biarlah Badri
terbang, sayang.”
“Kenapa, yang?”
“Karena Badri itu
artinya purnama. Jadi, biarlah Badri menikmati purnama yang bersinar, sama
seperti namanya.”
Aku tidak
mengerti kenapa Eyang kakung yang sangat suka dengan Badri itu merelakannya
lepas. Aku kembali ke beranda. Masih kutemui ia di dahan pohon jambu yang berada di samping pohon mangga. Aku
ikut melepaskannya dari hatiku, seperti Eyang melepaskan dari hatinya. Aku
membersihkan sangkar yang sudah diturunkan oleh Mama. Segera saja aku
kembalikan ke rumah Ua.
***
Eyang kakung
memang benar. Badri terbang bersama purnama. Sedangkan pemiliknya melepas nyawa
mulai malam ini, terbang bersama Izrail. Seekor puter telah bebas. Dan kini
kulepas doa yang diamini purnama dan pohon kamboja.
(dimuat di Satelit Post edisi 13 Juli 2014)
(dimuat di Satelit Post edisi 13 Juli 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar