JOURNAL OF SOLITUDE

Solitude is my idea, to meet God

Selasa, 15 Juli 2014

Sayap Purnama

cerpen ini pernah dipublikasikan di satelit post edisi Minggu, 06 Juli 2014


Entah dari mana Eyang Kakung membawa seekor burung puter berbulu cokelat muda itu. Tiba-tiba sore ini sudah tergantung sangkar di atap depan rumah. Pada lehernya terdapat warna melingkar seperti kalung, berwarna putih dan hitam yang menggaris. Bulu tubuhnya berwarna cokelat muda merata. Di pinggiran sangkar bagian dalam tergantung seuntai gandum dan wadah kecil berisi air untuk makan dan minum.

Sesekali burung itu manggung dengan merdunya. Kuk gerrruuk, kuk gerrruuk, koak. Kira-kira begitulah bunyinya, jika dituliskan dengan kata-kata. Hampir sama dengan suara rekaman burung yang selalu kudengar di RRI, sebelum memutar lagu Indonesia Raya setiap pagi. Anehnya, baru hari ini burung itu berada di rumah, Eyang Kakung sudah menamainya dengan sebutan “Badri”. Entahlah, nama itu terilhami dari mana.

Anehnya lagi, setiap Eyang Kakung memanggil nama “Badri!”, pasti burung itu langsung manggung. Kuk gerrruuk, koak. Kuk gerrruuk koak. Aku sendiri merasa heran dengan tingkah Eyang Kakung dan Badri itu. Pernah aku mencobanya sekali memanggil Badri dengan nada seperti Eyang memanggilnya, tetapi tidak ada respon dari burung itu untuk manggung seperti biasanya.

Aku mengerti, barangkali Eyang Kakung dan Badri sudah saling jatuh cinta. Buktinya saja, setiap kali Eyang memanggil nama Badri langsung saja dia manggung. Entah di waktu pagi, siang, bahkan malam. Di dini hari, sekitar jam dua, Eyang memang selalu bangun malam. Dan mulai dari dini hari ini, ia panggil nama Badri lagi.

“Badrii!”

Kuk gerruuk, koak.”

Sekali lagi aku heran. Burung puter bukanlah makhluk nokturnal, tetapi dalam tidur burungnya tetap saja menyahut panggilan dari Eyang kakung.

Eyang kakung bersama Eyang putri sejak dulu memang sudah senang memalihara jenis unggas. Andai saja musim lalu tidak ada pemusnahan unggas dari dinas kesehatan, kandang sebelah rumah ini masih penuh dengan puluhan bebek dan ayam. Demi menjaga nyawa manusia dan menurut kepada pemerintah, Eyang tidak keberatan dengan pemusnahan unggas miliknya.

Sejak musim flu burung itulah, Eyang kakung seperti kehilangan separuh jiwanya. Aku pun merasakan kehilangan dari suara bebek dan ayam yang selalu menciap setiap saat. Sejak adanya Badri di rumah ini, aku merasa ada nyawa baru lagi di dalam jiwa Eyang.

Hampir setiap hari usai pulang sekolah, aku disuruh untuk memetik seuntai gandum yang tertanam di kebun belakang rumah. Meski Mama selalu berteriak padaku untuk mengganti baju merah putihku terlebih dahulu. Tetapi teriakan itu selalu tidak kuindahkan. Barangkali aku pun sama seperti Eyang Kakung yang sudah jatuh cinta terhadap Badri.

***

Suatu sore yang melupakan lembayungnya. Gerimis merinai sejak dua jam yang lalu. Eyang Kakung belum juga pulang dari rumah Ua. Badri yang sedari tadi tergantung di beranda rumah mungkin merasa kedinginan. Tetapi aku membiarkan saja, juga Mama dan Eyang Putri.

Gubrak!”

Suara itu terdengar dari dalam rumah. Mama dan Eyang Uti tidak mempedulikan hal itu. Tetapi aku segera menghampiri suara itu berasal. Badri. Ya, Badri sudah mengelepar di sangkarnya yang jatuh. Gantungan besi dari kandang Badri terlepas begitu saja. Barangkali karena rapuh. Aku segera memasukkan ke dalam rumah burung itu. Meski masih dengan kandang yang reyot.

Tidak lama kemudian, Eyang Kakung pulang dengan pakaian yang agak basah. Aku menunggunya di depan pintu. Inginku segera menceritakan apa yang telah terjadi. Aku mendengar Badri masih saja manggung. Barangkali dia mengatakan sakit yang sedang ia rasakan.

“Eyang, sangkar Badri roboh. Baru saja terjatuh.” Kataku, sebelum Eyang mengatakan kehilangan sangkar burung yang tergantung di beranda rumah.

Eyang masuk ke dalam dan memeriksa sangkar yang rusak. Dipanggilnya Badri dengan suara yang merdu. Dan langsung saja Badri manggung lagi.

“Eyang mau ke rumah uak lagi ya, pinjam sangkar burung yang tidak terpakai.” Ijin Eyang kepadaku.

Aku mengiyakan dan segera masuk ke ruang dalam, untuk menceritakan kepada Eyang Putri. Dengan berjingkat, aku sudah mendapati Eyang Putri yang berada di dapur. Namun tiba-tiba aku mendengar suara serupa Badri terjatuh lagi.

Gubrak!”

“Badri! Mira!” teriak Eyang.

Dengan tergopoh-gopoh, aku menjumpai Eyang Kakung lagi. Kali ini bukan sekedar Badri  yang terjatuh. Tetapi Eyang sendiri yang terpeleset di lantai yang masih terkena rinai gerimis.

“Mama! Yang Uti! Yang kakung kepeleset!” teriakku dengan buliran air yang tiba-tiba timbul di sudut-sudut mata.

Aku segera saja berlari ke rumah ua untuk meminta pertolongan. Ua beserta anak-anaknya berlarian menuju rumahku dan segera membopong Eyang kakung ke dalam kamar. Aku tidak melihat kejadian itu, karena aku masih bertanya kepada gerimis yang merusak kedamaian senja.

Mama segera saja mengundang dokter ke rumah untuk memeriksa Eyang. Dokter hanya memberikan obat penenang rasa sakit dan mengatakan bahwa tulang lutut yang menghubungkan tulang kering dengan tulang paha Eyang patah. Mama ingin segera saja mengantarkan Eyang kakung ke rumah sakit untuk memasang kembali tulang yang patah agar seperti semula. Namun Eyang tidak setuju dan tidak mau pergi ke rumah sakit. Alasan Eyang adalah tidak mau digips, karena gips hanya akan menambah rasa sakit saja. Eyang mengatakan itu karena memang tiga tahun yang lalu pernah digips pada bagian bahu dengan sebab tertabrak motor saat menyeberang di jalan.

Hari-hari berlalu. Eyang kakung hanya terbaring di dipan bilik kamarnya. Ruang kamar yang berada di dalam, jauh dari keberadaan Badri yang selalu dipanggilnya. Sejak kejadian beberapa waktu yang lalu, Badri menjadi jarang manggung. Meskipun sesekali suaranya masih terdengar merdu.

Aku begitu menyukai Badri yang elok itu. Diberinya seuntai gandum yang tiap hari kupetik di kebun samping rumah. Jika mau, kumandikan ia dengan semprotan. Lalu ia bergidik. Tidak peduli ia sudah kedinginan atau belum. Aku selalu suka melakukan itu. Karena bulunya yang licin tidak mudah terkena air.

Selalu saja Mama menggangguku. Mama bilang, tidak bagus aku_sebagai anak perempuan_ menyukai burung. Alasannya karena menjadikanku lupa dengan tugas dari sekolah. Malah, Mama akan membebaskan Badri untuk hidup di alam bebas. Namun aku tidak mengindahkan hal itu. Aku pikir menyayangi Badri adalah menyayangi Eyang Kakung.

***

Suatu pagi di bulan Desember. Kabut memeluk atmosfer. Menjatuhkan embunnya di tanah dan rumput-rumput hijau. Aku membuka jendela dan pintu yang masih terkunci. Seperti biasa, kulihat Badri yang kedinginan di gantungan atap beranda. Tetapi tidak untuk pagi ini! Aku tidak menemukan burung puter itu kedinginan. Mataku mengitari seluruh lingkar sangkar; tidak ada. Pintu sangkar agak terbuka.

“Badri!” teriakku dengan menebar pandangan ke segala arah.

Kuk gerrruuk, koak. Kuk gerruuk, koak.

Badri, seekor burung puter yang sudah lama bertengger di sangkar atap beranda, kini berada di atas rerumputan samping rumah yang masih mengembun. Aku berusaha menangkapnya. Tetapi terburu ia terbang dan hinggap di dahan pohon mangga.

“Eyang, Badri lepas dari sangkar. Mira mau menangkapnya tapi Badri keburu terbang.” Kataku kepada Eyang kakung, yang kutemui dalam pembaringan di atas dipan.

“Biarlah Badri terbang, sayang.”

“Kenapa, yang?”

“Karena Badri itu artinya purnama. Jadi, biarlah Badri menikmati purnama yang bersinar, sama seperti namanya.”

Aku tidak mengerti kenapa Eyang kakung yang sangat suka dengan Badri itu merelakannya lepas. Aku kembali ke beranda. Masih kutemui ia di dahan pohon  jambu yang berada di samping pohon mangga. Aku ikut melepaskannya dari hatiku, seperti Eyang melepaskan dari hatinya. Aku membersihkan sangkar yang sudah diturunkan oleh Mama. Segera saja aku kembalikan ke rumah Ua.

***

Eyang kakung memang benar. Badri terbang bersama purnama. Sedangkan pemiliknya melepas nyawa mulai malam ini, terbang bersama Izrail. Seekor puter telah bebas. Dan kini kulepas doa yang diamini purnama dan pohon kamboja.

(dimuat di Satelit Post edisi  13 Juli 2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar