Di rumah yang kutinggali, terdapat beberapa kolam ikan. Seringkali,
aku menyebut rumah itu sebagai kastil. Entah bagaimana aku mengakuinya, sebab
di tepi kanan ada kolam yang serupa sungai sampai belakang rumah. Tepian kolam
itu dibatasi dengan dinding tebing yang tingginya hampir sampai atap rumah. Sampai
belakang rumah, masih dikelilingi kolam itu. Di depannya, ada kolam ikan juga. Tepian
kolam dihiasi bunga-bunga. Tetapi akhir-akhir ini, hanya dihiasi beberapa pot
tanaman cabai, sawi, kol, terong, jahe, kunyit, muncang, dan yang tidak bisa
kusebutkan satu per satu. Belum lagi, di bawah samping kiri rumah saya,
terdapat kolam. Menurutku, kolam inilah yang paling bagus. Sebab, paling alami.
Di tepian tebingnya ada pohon asam. Bawahnya ada tumbuhan pandan yang harum
itu. Di situlah terdapat mata air yang airnya mengalir tak mengenal musim. Jernih.
Bila kau tidak percaya, mainlah ke rumahku,
Sayang. Akan kuajak kau melihat ikan-ikan. Tentu, akan kukenalkan padamu bapak
dan mamaku. Bagaimana? Kau mau kan?
Kolam Kecil
/1/
pada mata air yang butirannya bergulir
kemarau sepadam dendam
kepadamu kubuatkan belik
tiga ruas bambu kusimpan dalam sunyi
kerikil, pasir,
merebah serupa pusara
kolam kecil
dengan ikan-ikan mujair
kuletakkan bibir
mengecup wajah bening
aku menerima basah jilbabku
yang menyulapku
jadi kupu-kupu
/2/
seekor burung paruh udang
terburu-buru mengetuk basah
dari ikan paling terkutuk
aku tak mampu memburu
pencuri menjejakkan kuyupnya
menghapuskan waktu
kolam kecil penuh mata air
tertidurlah
dalam buaian lumpur
/3/
dua gadis kecil
setiap pagi mandi
di pinggir sendang
tanpa rahasia
padahal mimpi-mimpi masih menguntitnya
mengintip lewat dzikir rumpun perdu
betapapun diisap beku
Purwokerto, 03 Agustus 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar