Ternyata, hari ini saya belajar mengenang. Oh ya. Jika kamu jatuh
cinta kepada saya, saya sarankan untuk tidak membacanya. Sebab, saya tidak
ingin kamu merasa patah hati yang terlalu duka.
Pada senja yang begitu memesona, lalu-lalang orang dan kendaraan
memadati sebuah gelanggang olahraga. Di sebuah pertandingan sepak bola kampung,
saya baru saja ingin menonton setelah pada pertandingan seperempat final.
Dengan tubuh yang lengang, awalnya saya mengelilingi separuh tempat penonton
yang merayakan kebahagiaan. Tiba-tiba tatapan saya tertuju pada tempat yang
kosong untuk sekedar duduk sambil menonton. Dengar! Baru kali ini saya berniat
untuk menonton pertandingan sepak bola. Saat itulah, saya menghampiri seorang
lelaki yang menyendiri. Tanpa ragu, saya langsung duduk di sebelahnya sambil
menyapanya. Hanya sekedar “Hai” saja, pandangannya ke arah saya dengan
tiba-tiba. Kami hanya saling menatap dan menyunggingkan senyum. Sejenak. Hanya
sejenak. Kemudian kami merayakan hening. Kembali pada pikiran masing-masing.
Ya, lelaki itu adalah mantan pacar saya. Hei? Kamu tidak percaya
kalau saya pernah punya pacar ya? Saya juga kurang percaya kalau saya pernah
pacaran. Tetapi tenanglah, kamu jangan langsung cemburu begitu. Setelah tiga
tahun tidak bersamanya, saya tetap menikmati sepi. Membuat pacar bayangan yang
kuberi nama Han. Percayalah, saya bercerita sesungguhnya. Han adalah sebuah
nama yang—menurut saya—menjadi tameng untuk mempertahankan kejombloan saya.
Sebab, ada beberapa laki-laki yang suka menggoda saya, padahal saya tidak suka.
Tidak suka sama sekali.
Baiklah, kita kembali lagi pada senja di pertandingan sepak bola.
Setelah seluruh keberanianku untuk menyapanya terlebih dahulu, pandangan saya
mencoba untuk membuntuti kemana bola pergi.
“Apa kabar?” tanyanya sebagai pembuka. Ia menatap saya. Penuh.
“Baik.” Saya hanya menjawab singkat. Sebab tidak ada
keberanian lagi untuk bicara. Sampai saat ini, masih saja ada debar yang
mendebur dalam dada. Entah mana yang mesti saya jaga. Mencintainya kembali atau
tetap sendiri. Tenanglah, Sayang. Saya tidak akan kembali padanya. Kami hanya
saling bertanya soal kuliah masing-masing. Tidak lebih. Itu saja.
Saya memperbaiki duduk saya, dengan lutut ditekuk di depan dada
lalu dipeluk kedua lenganku. Dia juga, bergeser sedikit lebih jauh dari saya.
Seperti ada yang mesti kami jaga; jarak. Kami tidak saling bertanya soal cinta
setelah berpisah. Tetapi jantung ini, seperti direngkuh lagi olehnya. Entahlah,
bagaimana perasaan dia.
Sampai detik-detik akhir pertandingan, kami benar-benar tidak
menikmati berapa kali ada gol tercipta.
“Ayolah pulang.” Kata saya. Hanya itu. Tidak ada senyuman sama
sekali. Biasa saja. Kami hanya saling menjauhkan punggung ketika penonton
lalu-lalang meninggalkan gelanggang.
Lapangan Walisongo, 06 Agustus 2015, 18.00 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar