Surat Terakhir
untuk Han
Ikat Rambut
Mencintaiku, telah
kauikat rambutku dengan tali pemberi napas. dibawanya rahasia-rahasia,
tersimpan di celah untaian mahkota. Kusisiri tiap helai dengan cahaya matamu.
dan kaususuri lewat degup jantugku. sehingga kau dan aku menyatu.
urailah rambutku
ini, yang sudah lurus memanjang. sama seperti usia yang merambati mentari.
kepanglah dahulu dengan jemarimu, agar rahasia menjaga. setelah itu tolong
ikatlah rambutku dengan lingkar cintamu, dan Cinta-Nya.
Purwokerto, 2014
Obor
Entah yang keberapa
kalinya kau melesat. hilang entah kemana. sedangkan ranting-ranting bambu tidak
pernah mendesau, menangis, atau pun berteriak: memanggil namamu. dan aku harus
menjelma bulan, agar bisa menyalakan malam yang demikian menyayat nadiku:
dengan ilalang yang menusuk malam. dan angin yang menjelma petir. mengoyak
jantungku; sampai berebut nyawa dengan Izrail.
Aku harus menyusuri
jalanan sunyi, yang dihiasi nyala pucat, seperti di tepi gerbang rumahmu.
Purwokerto, 2014
Bola-bola Air
; Dima
Fitriani
Tidak ada yang lebih niscaya daripada bolabola
air. setiap gelembungnya menjelma replika bianglala, lalu kau mengaca
kepadanya.
Setelah kau tiup rahim bolabola air, udara di
dalamnya menyimpan seribu kenangan. berserak di pelataran batinmu. memoar
sebelas tahun silam.
Lalu seekor kupukupu terbang menyusuri musim
rahasia di hatimu, mengisap rindu kepada satu. metamorfosa: kau meninggalkan
euforia. dan bertapa menyusun jelaga pada tubuhmu.
Aih, sebaiknya jangan kau lakukan itu, sayang.
bolabola air masih terbang ke pangkuanmu yang menghampar. ikuti angin di
matamu, angan di batinmu. menghempaskannya di tubuh hawa, bukan berarti kau
ikut mati di pusaran waktu.
Masih ada rahim yang bakal lahirkan bolabola
air. katamu, ia bersama angan yang nisbi.
Purwokerto, 2014
Doa
Sebelum purnama
luruh di saat subuh
aku memotongnya
dengan ilalang yang kembang
separuh kukunyah
menjadi sarapan pagi
dan separuh
kukantongi
agar tubuhku
menjelma cahaya
Purwokerto, 2014
Perempuan
begini katamu;
setelah musim
kemarau masak
aku mesti
menyerap getah daun jati yang ranggas
menyimpannya
di lembar almanak
dengan
jejak air mata
begini
kataku;
musimku
sudah luruh
bersama bau
anyir tubuhmu
yang
dibalut kembang dalam ritus sunyi
Purwokerto,
2014
Mafela
Jingga
Di taman belakang yang
kau dapati setiap hari, angin menulis risalahnya dengan putik bunga waru sore
itu. Menjelma serangkaian lagu. Dari rentetan daun
ilalang, daun bambu, dan daun hatimu. Angin terburu-buru. Mengibaskan sayap
capung merah, yang nyampai pada cakrawala doa.
Tinggal sepotong mafela melambaikan doanya
kepada senja. Seperti di senja yang lain, buat membungkus matahari. Di remang
sebelum kuyup.
Purwokerto, 2014
Aroma Teh-Melati
kudengar detik arloji berloncatan dari tanganmu
saat senja mulai luruh,
tertiup aroma teh-melati
pertemuan ini, kau memesan sunyi
aku merapal mantra Lasswell:
“who
says what in with channel
to whom with what effect?”
kau entah melafal apa
oi, aku berdiskusi dengan arlojimu
sambil memunguti sisa kenangan
sebelum kubaca doa bersama
secangkir teh-melati
kau entah membaca apa
aku membaca mantra
; kuleburkan bersama
kabut aroma
dan memesan sunyi
yang sempurna
Purwokerto, 2014
Perahu Kertas
; Han
/
Aku menulis namamu
di selembar kertas yang dilipat
serupa perahu
sedang di balik jendela, hujan sekarat
aku menyemat rindu
tiap helai tirainya
kepadamu
//
perahu kertas
kuhanyutkan dari
selokan kampus
biar berlabuh di
muaramu
dalam doa subuh yang
bergemuruh
dalam doa duha yang merupa cahaya
dalam doa dan sujudku
di kedalaman niscaya
sebuah nama
Purwokerto,
2014
Pertunjukan
/1/
di bawah pohon kersem
aku tahu
kemana arah usia
berlabuh
gadis-gadis kecil
berlarian, mengejar matahari
melawati ritus
pemakaman perawan
yang mati siang tadi
dengan taburan kembang
diwakili epitaf dan
kembar mayang
/2/
di taman mengarah
senja, sepasang pacar tertawa
bermain ayunan,
menghadap taman kamboja
didiskusikannya tentang
hari kenduri
mengarak dua kembar
mayang
gadis kecil berlarian,
membawa papan congklak
menuju gazebo taman
“sepasang pacar, apa
yang sedang kau cari
ambil saja di depan
nisan itu!”
/3/
Sialan!
aku kejatuhan buah
kersem
meluncuri rambutku,
menuju selokan
yang tiba-tiba mengalir bau anyir
; mungkin dari seorang perawan!
Purwokerto, 2014
Memo
; Han
Di atas mejamu, kutaruh selembar memo
Yang terbuat dari rimbun embun
Pada rahim batinku
“setelah malam ini berakhir, kau dan aku
bertemu
; mengekalkan sepi”
Purwokerto, 2014
Mutilasi
Lelaki yang memotong bambu pagi ini
sama seperti detik jam
dinding yang
memotong-motong tubuhku
setiap ruasnya
berteriak kepada
pohon-pohon
untuk meneteskan embun di daunnya
kepada luka yang berbau
anyir di setiap jengkal langkah
lalu mengejawantah dalam gundah
Lelaki yang membelah bambu menjadi tali
sama seperti kau yang membelah tubuhku
menjadi fatamorgana bagi ribuan mata
diikatkannya kepada jiwa antara kau dan aku
Purwokerto, 2014
Doa Pantai
ijinkan burung camar menguras laut yang
tak habis-habisnya mendeburkan cinta
menggoyangkan perahu nelayan yang mengambang
dan ketika matahari terapung di awan
ijinkanlah bocah kecil itu membangun istananya
menjadi mahkota raja yang senantiasa
memanjatkan rapalan doa
lalu tiba-tiba dihapuskannya istana
oleh debur-Nya
dan magrib ini sedang menyematkan lembayungnya
sama seperti istri para nelayan yang
menyematkan doa untuk
mengantar suami ke arah nun
dengan perahu yang berjingkat di
atas samudra
sedang kau dan aku masih menatap
batas pasang dan surut ombak
yang merombak doa
menjadi cakrawala
Cilacap, 2014
Sajak untuk Bunga
/mawar/
Demi dzat yang memasang embun pada mahkotamu
Aku melihat doa-doa menguap di antara
Susunan kelopak yang dikuntum subuh
kau merasakan pekat, saat mata memandang seluas
cakrawala
dan bisikan doa terus memburu
diburu matahari
lalu mengamininya dengan harum tubuhmu
dan menyapa
; selamat pagi, usia
/seruni/
Susunlah kelopak dalam
keabadian
menjadi sayap-sayap
yang dipakai olehku
; untuk mengejar matahari
/kamboja/
Lihat!
kau terlepas dari
ranting-ranting bisu
dan rebah di atas pusara
membawa malam yang
tak pagi-pagi
Purwokerto,
2014
Sepasang Sayap
Sunyi
Malam bentangkan
sayapnya
Saat ia semakin
menua
Sedang kau aku
saling mengadu pilu
Tentang sembilan
puluh sembilan rindu
Sampai-sampai
bahasa tidak mampu tengadah
Menunjuk kepada
satu arah
Purwokerto, 2014
Kosong
/1/
Tuhan kesepian,
sayang
Saat malam tidak
lagi bercumbu denganmu
Kau lempar purnama
lewat jendela
Hingga kamar
tertangkap gelap
/2/
Lorong-lorong sepi
Dimakan usia
Kau layangkan tubuh
penuh luka
Mengoyak dada,
meneguk nyawa
Hingga aku
tiada
Purwokerto, 2014
Cahaya
Cahaya membagi
cahaya
Ke segenap semesta
Kepada matahari,
bulan, dan bintang
Sampai langit
tertangkap cemburu
Wasilah cahaya
semakin memburu
Cahaya menyinari
cahaya
Dengan shalawat
sepanjang masa
Sampai langit menggetarkan
singgasana
Untuk lelaki
pemilik cahaya
Purwokerto, 2014
Jatuh Cinta
;
Han
Sampaikanlah kepada
temanmu
Bahwa aku memakan
kepayang di kebunnya
Hingga mabuk
merasuk jiwa
Sampaikanlah kepada
temanmu
Bahwa nanti malam
bintang akan terbang
Mengarungi
cakrawala di hatinya
Purwokerto, 2014
Kau Aku yang Papa
Pohon tidak
memandang siapa
Kau atau aku yang
papa
Karena ranting tak
pernah menunjuk kepada
aneka
sedang kau dan aku
bukanlah pohon
yang setiap menatap
tak pernah kosong
yang setiap memberi
tak pernah iri
yang setiap cinta
mengalirkan mesra
namun kau dan aku
adalah papa
menatap cinta
kepada luka
merindu hanya
kepada pilu
yang tak sempat
tersampaikan oleh belenggu
Purwokerto, 2014
Vakansi
/1/
beberapa waktu lalu
aku menjelma kupu-kupu
menggeliat
setelah bertahun
pertapaan
/2/
aku merupa bunga
setelah embun
merekahkan dunia
; melayu
bersama daun kering
yang rindu
getah pohonku
/3/
kali ini aku
menjadi ular
melungsungi tubuhku
pada batu terjal
di sungai yang
berisik
/4/
dan tubuhku menjadi
biji
tertidur dalam
gelap tanah
sebelum kuserap air
hujan
yang mengecambahkan
badan
Purwokerto, 2014
Bulan Merah
;
Zaka-Zaki
Senja tidak mampu
menengadahkan tangannya
menerima
suara-suara yang menjerit di
ceruk dinding beton
melalui ruang operasi
setelah terdengar
adzan
katanya;
bunda merajut
hatinya dengan air mata
lalu diseduh
menjadi doa
dan inilah
secangkir mata air
dialirkan ke
tubuhnya
setelah kelahiran
pertama
Purbalingga, 2014
Setelah Menarik
Napas
Aku merasakan getir
di setiap ujung kelas
Orang-orang
lalu-lalang antara koridor fakultas
Membawa cahaya yang
disematkan dalam tas
Sedang aku mencium
bau anyir tubuhku
yang tertusuk tinta
tadi pagi
sampai-sampai aku
merasakan remuk tulang-tulangku
menjadi abu-debu
orang-orang masih
lalu lalang
dibawanya sebatang
pedang
untuk
memotong-motong jiwaku
yang sudah
kutinggal di selembar kertas
Purwokerto, 2014
Pluviophile
Apa yang kau cintai dari
ricik hujan
Sehabis menggugurkan daun
belimbing yang telah dibimbingnya tumbuh
Lekas terbaring di tanah,
menengadahkan wajah pada hunjam di rembang petang
Hanyalah sepasang kekasih
yang berlindung di lengkung payung
Terlanjur menapaki jalanan
basah, namun belum cukup membuatnya kuyup
Sebab masih ada sisa
simpang jalan yang harus memisahkan
Perempuan melenggangkan
tangannya sebelum sampai beranda rumah
Jahat sekali lelaki itu,
katamu.
Matamu nyalang mengeja
kasih sayang
Sepasang kekasih saling
melipat kenangan di gerbang yang bersisian
Sebelum hari makin kabung
Mengungkap rahasia yang
kau catat sebagai kesetiaan
Sementara kau lekas
mengetuk pintu
Biar aku membukanya
sehabis kutingkap dari jendela
Purwokerto, 2015
Tokek
Seekor tokek sembunyi di
balik lemari kamar
Telingaku pekak sebab
saban malam ia berbunyi
Bila kantukku datang, aku
menutup telinga dengan bantal
Biar takutku sedikit
hilang
Aku lekas mengundang teman
yang bisa bicara dengan hewan
Kuberi sapu biar ia
mengusik balik lemari
Sehabis tokek merayap
sampai atap
Temanku melepas ikat
rambutnya sambil menggeliat
Tiba-tiba ia bergegas
menjelma tokek
Purwokerto, 2015
Di Hari Libur
Sesekali kau mengajakku
menyiang halaman
ketimbang memotong tangkai
bunga agar tumbuh tunas baru
sebab waktu telah sibuk
bergelayut pada pergantian musim
rumput kita telah
menghijau
aku tidak ingin ada
tetangga yang menyayanginya terlebih dahulu
; katamu sambil menanam rindu, mencabut sedu
Purwokerto, 2015
Tempat Bersandar
Aku
silap pada tafsir kalimat yang tumbuh dari akar-akar kemarau
Dicatatnya
risalah paling tabah di rebah pengkhianatan musim
Sekali
kau sentuh batang pohon ini, menyerahlah daun-daun pada angin penjemput ajal
Diranggas
nafas setelah perburuan dari pejal tanah kian menghilang
Meski
telah diajarkan bagaimana menyulur rindu dari seluruh cemburu
Batang ini mengering sesaat tubuhku berselubung kabung
Menerbangkan
catatan yang patuh kepada guruh-guruh
Demikianlah
aku membasuh cuaca dengan air mata
Serupa
kau menyirami pokok di halaman rumah tiap habis subuh
Dahan-dahan punggur menggugurkan usia yang mengering
Lalu kuizinkan kau menengadah dua telapak tangan ke
arah langit
Seberapa
sengit waktu memberi tanda dengan cara paling bisu
Purwokerto, 2015
Tempat Menunggu
; Han
___meja makan
Meja
kayu berlapis irisan papan warna cokelat serupa
Dua cangkir minuman kesukaanmu yang telah bersanding
Pada wadah nasi bersama lauk untuk malam ini
Telah menghirupkan uap rindu lewat hidungku
Merasuk ke ruang paling lengang
Dalam tubuhku
Telinga
terjaga menunggu suara ketukan pintu
Meski selembut tik-tok arloji yang lekat di lingkar
tanganmu
Kubayangkan langkahmu menggetarkan daun-daun kering di
luar
Serupa kepingan tahu yang telah dingin di atas piring
Sungguh ingin segera kumakan tanpa dendam
Sepasang
kursi sepi sudah lama ingin diduduki
Di
situlah mataku khusyuk membasahi doa-doa lapar
Sebenarnya
ada pertunjukan sesumbul nasi yang menggelepar
Ikan-ikan kian terdampar, piring putih jelas
menghampar
Sementara
sebatang sendok terbungkam, dan garpu
Semakin
menyayat ruang tungguku
___beranda depan
Waktu
telah terbuat dari batu-batu gunung
Kau
membawanya sebagai pelengkap diorama di beranda
Gulirannya lambat, tertambat langkahmu yang makin
sekarat
Di gang depan rumah ada yang merupa lorong cahaya
Aku menelanjangi gelap biar tersingkap dimana kau
menyembunyikan cerita
Gerbang rumah tetangga yang bersisian
Pohon berakar kemarau semakin beraroma kematian
Selokan, papan pengumuman, berjajar halaman
Berasal dari dua butir mataku yang menyimpan khawatir
Merasuki
sunyi waktu yang terpelintir
___kamar
Pada
upaya persetubuhan malam dan lengang
Entah
kemana aku menempatkan tidur sebelum meningkapmu lewat jendela
Seperti angin yang tidak bertepat hati, menghabiskan
berjibun cerita dari kepalanya
Kelambu dan ranjang saling bertukar mimpi di sela
tidurku yang ragu
Lampu-lampu dimatikan pada tenggat hari berganti
Setelah kau menyimpan pejamku di gagang pintu yang
terkunci
Purwokerto, 2015
Pohon Jati
Pada ranggas pohon jati bersaput kemarau
temui aku di tebing paling gamping
lantas
berduka kepada yang tumbuh dewasa
Waktu
adalah lingkaran tahun
tertumbuk
oleh sibuk hutan
yang mengekalkan lengang
di situlah aku bersemadi
melewati seabad mimpi abadi
Purwokerto, 2015
Teman Bercerita
Air yang mendidih dalam panci adalah
rindu
Sekali kau tutup rapat-rapat,
meluaplah luka ke tubuhku
Matikan saja api yang mengerjapkan nyala merah
Sebab ingatan telah jatuh cinta kepada sumbu nestapa
Angkatlah
bejanamu dan tuanglah seperti kata-kata
ke dalam poci puisi
Sayang. Kubuatkan secangkir teh dari air panasmu
Nanti
kuajarkan bagaimana cara merayakan luka
Purwokerto, 2015
Menuang Garam
Mencintaimu adalah garam yang dituang
tangan
kanan perempuan ke dalam kehidupan
dari
lentik jarinya tertakar ketenangan
menjelang
kuah santan bergelombang
diaduk
irus yang lekang pelukan
di sudut
pemujaan, api merayakan harum
perceraian
batang serai
dan
apungan daun salam
sejumput
garam dari tangan perempuan tidak hilang
selama
kasih sayang berayunan
di
lengkung wajan
sepanjang
cinta ditangkupkan
Purwokerto, 2015
Sekotak Nasi untuk Berdua
Nasi kira, ayam goreng bersambal terasi
dalam keadaan damai bersama kemangi
seperti tanah beraroma dedaunan hijau
yang diantar tidur dengan doa kemarau
mentimun kira, nasi yang lebih bahagia
ketimbang selembar
kubis belum habis teriris
dibiarkan saja sampai
makan siang kita selesai
sambil membaginya jadi
dua buat mengelap jari-jari
sambal terasi kira, ayam gorenglah yang paling
kuasa
sehingga dioles tubuhnya agar merayakan luka
padahal kau dan aku saling mengatakan
: ini buatmu saja
kukira, sekotak nasi untuk berdua
adalah cara untuk membuatmu
merasa lebih kenyang dari biasanya
Purwokerto, 2015
Upaya
Menggambar Dapur
Aku ingin menjadi
perempuan
Beraroma pindang dan tumis kangkung
Memagari rumah dengan mangkuk
Ke jendela dapur tetangga
Pada ranum bunga-bunga di halaman
Disiramnya air bekas pesusan
Yang seputih susu ibu
Menghapus embun di pinggiran daun
Sebelum menetes dari tutup segala rebusan
Purwokerto, 2015
Membaca Cermin
Di depan cermin aku bertanya
Dimana letak tengkuk dan telinga
Sementara membaca rupa rindu
Hanya ada debu dan aku
Purwokerto, 2015
Ketulusan Hujan
; Han
Aku bisa menulis puisi tanpa mencintaimu
Sebab hujan tidak akan berkhianat pada musim
Membasahkan tanah, tumbuhlah rumput teki
serta ranum bunga
dan hujan rela namanya menjadi musim lain
Semacam musim mangga,
musim rambutan, atau durian
Aku pun rela menulis puisi tanpa menghadirkanmu
Sebab benih padi telah ditebar di persemaian
Akan mengecambah sehabis wajahnya menengadah
pada siraman hujan
Purwokerto, 2015
Lampu Taman
;
Da
Lampu taman lebih menyala dari sepasang mata
saling cinta
pendaran daun yang melamun, menunggu mega-mega
menyetubuhi malam
Tidak ada cemburu, sayang.
Padahal ia menahan pelukan
Pada kekasihnya di seberang rumpun bunga
Tolong biarkan tubuhku bersandar padanya
Yang menyembunyikan ciuman sepasang pacar
Di sudut temaram
Purwokerto, 2015
Bangku Taman
Pada bangku taman yang merayakan malam
selembar daun ketapang jatuh ke atasnya
seorang perempuan mengunjungi dengan wajah sayu
bergetarlah daun itu kena percikan air mata
yang menjelma angin
menaburkan cahaya
singgah di depannya
mengalirlah doa-doa sederhana
pagi di hari berikutnya, bangku taman
masih duduk di tempat semula
sebab semalam ia terjaga
dari dengung tangis perempuan
Jangan ganggu tidurnya sepanjang siang, ya.
Ia terlalu letih untuk
menunggui kesedihan
Purwokerto,
2015
Sebelum Malam Bicara Kepadaku
di buku harian halaman
terakhir, kita bakal kekal
orang-orang
menerbangkan berkas bunga
serupa bulu-bulu
dandelion yang tersihir angin
merebah di ladang
paling rahasia
aku menyelimutinya
dengan kain berwarna belacu
biar kusimpan di
kedalaman waktu
sambil menikmati
doa-doa sebelum kepulangan
di luar, orang-orang
mengusik malam
dengan alunan musik
jalanan
salah seorang memetik
mandolin
lainnya bernyanyi,
membenahi diri
menderapkan sepatu,
mengukur panjang trotoar
maka malam mengajakku
pulang
menyucikan diri di
antara rinai hujan
Yogyakarta, 2015
Rahasia
Bunga Kopi
Harum bunga kopi yang
kuhirup setiap pagi
Mengucapkan salam
kepada embun yang tepekur di daun tubuhmu
Seperti sisa air mata
yang menggenang di sudut wajah perempuan
Penuh rahasia
Ada sepasang tekukur di
dahan paling bergelimun, suaranya merobek halimun
Namun wajah perempuan
menyobek sisa kenangan yang
Mendengung
Melintas-lintas
Merantas usia jadi sia-sia
Meranggaskan putik putihnya
Wahai, bunga kopi yang tidak pernah menyesali
diri
Akan berlabuh di neraka, sebab engkau tidak
punya dosa
Maka kepada nyawa yang menjaga rahasia aroma
Pagi ini aku menyapa
Mengirimkan fatihah
untuk hatimu yang memerah
Kutitipkan bola mataku
Di tiap putikmu
Purwokerto,
2015
Jus
Tomat
Aku memotong sebutir
tomat
Ada doa membunuh yang
tersekat
Saat darah mulai
mengucur
Sebutir tomat jadi
hancur
Dari lubang-lubang parut
Goresan carutmarut
Aku menuangnya ke dalam
gelas
Sebelum hatiku ikut
mengelupas
Tiada mantra, aku mendengar
Rintih sebutir tomat yang luluh
Telingaku jadi semakin rapuh
Aku menambah air panas dan gula
Melebur bersama
Langit yang makin
jingga
Purwokerto,
2015
Sambal
Tomat
Ayah, hari makin kusut
Cakrawala adalah tomat
yang digoreng sampai keriput
Dua butir bawang putih,
sejumput cabai merah, dan garam ikut berpagut
Terasi dibakar, nyala asap melesap
Merayakan upacara rahasia
Tomat dilumat, mengantar doa ke alamat
Waktu dari segala yang terberkati
Tidak lupa menuang gula, menyembunyikan sakit
senantiasa
Makan malam
Kusiapkan nasi dari serpihan rezeki
Kucermati setiap butirannya, menjelma cahaya
putih sebelum gulita
Sambil bercerita dan tertawa
Di atas olesan jelantah
Melepasi antah
Alhamdulillah,
Purwokerto,
2015
Ikat
Rambut, 2
pernah aku kehilangan
ikat rambut
kau menyuntingkan sajak
dengan bunga mawar di
telingaku
kaurisaukan fonem dan
morfem
diikatnya bait paling
ritmis
maaf, jantungku
berdebar
seluruh tangan akan
menyanggul
jangan nyatakan rindu
sebelum cahaya yang
jelita mengecup bibirmu
dan aku sepenuhnya
menjadi perempuan
sekarang aku ingin
kehilangan ikat rambut
agar kau bisa menyuntingku seperti puisi
Purwokerto,
2015
Jam
Dinding
Aku punya satu jam
dinding di kamar
Setiap malam menjelma hantu
Dari titoknya terlahir roh baru
Malam itu, tiba-tiba ia meminta makan
Aku melarangnya, sebab makan tengah malam
hukumnya haram
Jam tidak lagi bicara soal waktu
Jam cumalah pertanda dibaliknya ada penunggu
Jam, lagi-lagi ingin segera membunuhku?
Sambil menyembunyikan jantungku
Segala resah kupintal jadi sesah
Dengan menghisap nestapa
Jam yang binasa
Aku berdoa,
Semoga arwahnya kembali sebelum pagi
Purwokerto, 2015
Perjamuan
Aku akan bercerita ihwal sebuah pesta
Kebahagiaan hanyalah milik juru masak yang
seharian merenung di dapur
Biji pala dipenggal, menimang segala cela yang
harus dicerna
Bubuk merica makin gelisah, mengarungi segala
resah kuah
Kutuang kentang dipotong dadu, cincang ayam
kubuat kaldu
Kepada sup, jadilah. Ke dalam mangkuk
tercurahlah
Ini, kuletakkan hatiku biar menggoda lidahmu
Lewat ujung sendok yang
kautanam
Sebelum kaulumat sampai
lembut
Semantara entah kapan api tungku tuntas
memberiku luka
Bahkan kuah santan berona cakrawala
Meleleh, tidak juga mengajari orang-orang
merasakan kenyang
Purwokerto, 2015
Suara Pagi
/1/
terbuat dari apa
hati yang tenang
ketika dapur
menyisakan
kalimat-kalimat rindu
tidak terkatakan
/2/
melalui gelombang air
cerek tembaga di atas
tungku
dzikir dituang ke dalam
cangkir
lalu diseduh
uapnya akan menembus
langit
lewat jalan-jalan
paling wingit
/3/
melalui gelisah minyak
nabati
segala kasih terhimpun
tenang
bukankah ketukan
talenan tadi
adalah permintaan
paling abadi?
Purwokerto,
2015
Jendela
Johari
Setiap
nyala langit memeluk sepi
Tirai jendela makin menepi
/1/
Janganlah kau sembunyi untuk bertemu denganku
Kita bisa bicara lewat jendela yang kubuka
Selama pagi masih mengembun, sore meredam hujan
Di palung matamu tetaplah tempatku berkaca
Orang-orang bisa
melihat segala rupa
Biar kutebar hening
buluh perindu
Sampai sempurna
/2/
Lihatlah aku, mataku
buta
Maka seluruh bunga
luruh dalam dahaga
Kudengarkan rintih
akar-akar tumbang
Suara kumbang kian
menghilang
Lalu kau sembunyikan
aku di ceruk nyalang matamu?
Disiksa sesakit-sakitnya
Dipalu rindu bertalu-talu
Sementara tanganku meraba cuaca
Yang paling murka
/3/
Aku merupa angin yang
membelaimu pelan-pelan
Kusembunyikan sayap
rindu berlepasan
Di balik gorden jendela
dekat ranjang
Selembar cermin
berkilauan
Sebagai tempatku
membaca diri
Dari rangkaian cerita paling fantasi
/4/
Bukan sebab malam aku menutup jendela
Memang yang pulang segera meriba
Purwokerto, 2015
Tempat
Bertafakur
___dapur
Aku tidak mengerti apa yang
mestinya direnungi
Tempatku menjamah pagi dengan sentuhan
hati-hati
Perapian selalu diciptakan
Menyulut hari tanpa menggulut matahari
Ada yang perlu kita bicarakan, bukan?
Dari garam yang bulirnya tidak lagi karam
Sebagai bukti iman tanpa banyak pertanyaan
Siungan bawang brambang jangan dibaurkan ya,
sayang
Kemana nafsu putih merahmu mesti dipisahkan
Butiran merica dan ketumbar juga kita takar
Mencermati angan masakan agar rasanya tidak
tertukar
Bulir beras tak usah
kau hitung
Seperti kasih sayang yang
selalu berkunjung
Kau tentu telah menyiapkan cobek serta anaknya
Sebilah pisau diasah di gerenda
Selembar talenan menyaput segala luka
Luka dari sayur atau
lauk lainnya
Mengakhiri hidup dimutilasi tangan perempuan
Katamu,
“Hei perempuan, jangan menderita dari liku
lukamu
Api tungku telah mengungkapkan rindu-rindu”
__sumur
Kenapa kau pergi menutup perigi di sebelah
kamar mandi?
Mata air adalah batinmu yang tidak goyah di
segala musim
Hidup kadang jadi pongah, sebab lupa pada
rahmah yang ruah
Hanya seperangkat timba
yang memahami kedalaman cinta
Memberiku bening air
terjauh
__taman
Sayang, maukah kau
kuajak pergi ke sebuah taman?
Menghitung daun-daun
yang gugur dari lengan ranting
Tetapi kita tidak jumpa pada panas berdenting
Ingatlah, aku akan memelihara debar yang
mendebur di dada
Lebih dari ketika duduk di bangku pertemuan
kita
Purwokerto, 2015
Rantai Sepeda yang Lepas
Sebelum berangkat ke
kampus
Ibu memberiku sekantong
sangu berisi rindu
Sepeda ungu keluar dari mimpi-mimpi yang belum
berpadu
Aku meniupnya dengan rupa doa agar tidak
berdebu
Meninggalkan ruang
dapur beserta kotak bumbu
Biar hidupku tidak sekedar bertamu, pun tidak
mudah ragu
Sebagai anak, aku memberi satu dusta pada Ibu
Kukabarkan bahwa sepeda ungu asyik buat pergi
berburu
Bagus warnanya, nyaman
mengayuhnya
Lewat ujung batin
paling bening
Agar tiada khawatir dari hidup yang getir
Padahal, rentetan rantai lepas dari hari yang
kian panas
Maka ada yang lebih duka dari ucapanmu;
Hidup memanglah seperti
roda: kadang di atas, kadang di bawah
Jika begitu, kau memerlukan
dua katrol dililit rantai
Sepasang pedal asyik
berjuntai, yang saling sambung tiada selesai
Sepasang roda siap
menghardikku:
Nanti jerujiku akan
kian berantakan, Sayang
Seperti istri
tetanggamu setiap hari menggugat
Cerai dari rantai suami yang tidak lagi
tertambat
Aku mengambil dua batang bolpoin dari tas
Segala yang kubawa berubah menjadi perkakas
Selubang rupa cincin memaut pada gerigi
piringan
Layaknya janji yang terikat dalam perjodohan
Aku terpasung di depan
gerbang gereja
Mengurus dunia yang hanya selebar katrol sepeda
Supaya terdera miskin-kaya senantiasa
Dan waktu mengajakku bersegera jatuh cinta
Purwokerto, 2015
Di Toko Kuburan
Kuburan dijual di pinggir jalan
Harganya mahal, bila kau membelinya bersama
pacar
Sebab hanya kesedihan yang bisa membayar
Seorang perempuan datang sambil menghitung
Air mata yang menetes dari tubir dagu
Dipesannya pusara bertanah cokelat
Bertabur kelopak bunga berbagai warna
Tidak lupa sebuah papan nisan
Menancap di bagian kepala
Pelayan toko segera membuat pesanan
Dihidangkan di atas meja, seperti di restoran
Pemesan diam. Masih
menghitung air matanya yang jatuh
Seraya mengucap doa-doa
kematian
“adakah alat untuk
menulis epitaf?” tanya pemesan
Pelayan mengambilkan kayu bakar yang ujungnya
berarang
Dihidangkan di atas meja, seperti di dapur
beraroma tungku
yang belum menghabiskan kayu menjadi abu
Perempuan yang menghunjam permintaan
Menabur sebakul kelopak
kembang
Bersama kenangan yang
selalu bicara
Purwokerto,
2015
Di
Kabin Kapal
Akulah aroma laut yang
senantiasa menanam rindu pada ibu. Sebab kau datang ke pelabuhan sesaat kapalmu
telah berlayar. Dermaga hanyalah sisa ingatan yang menunggumu secepat layung.
Jadwal pemberangkatanmu mestinya masih satu jam lagi. Kau terlambat. Calon
kapalmu terlihat mengambang. Rambutmu diterbangkan angin sampai menutup segala
pandang.
Tubuhmu gamang. Mengeja
langkah yang nyampai pada sunyi, sampai pada gadis kecil sedang memancangkan
perahu kayunya. Bola matanya bersinar, gaun putihnya seperti
baju ulang tahunmu yang ke sembilan.
“Kau hendak kemana? Marilah aku antar sampai
tujuan.” Ajaknya dengan mengulurkan tangan kanan.
“Naiklah ke perahuku.
Kau akan menemukan Tuhan. Menghirup aroma laut, kelebat angin, basah air asin,
dan kau bisa menanam ombak di samudra.” Gadis
kecil menarik tanganmu dan kau duduk di perahu kayu. Ia mendayung dengan tenang, dan sampan makin mengapung
di arah nun.
“Tentu saja kau
terlambat. Arlojimu belum kau ubah dari lingkar tangan ke lingkar waktu.”
Tiba-tiba gadis kecil bermata cakrawala
menghilang, dan kau telah di geladak kapal. Dengan isyarat terburu-buru, malam
bertambah pekat. Ia meninggalkan desir jantungmu yang telah terjaga.
Purwokerto, 2015
Flanel
Kabu-kabu kubuka dari
mata penuh warna
setiap kugunting tak
nyampai berdenting
menyobek segala yang
bergetar sampai gusar
telah kuulurkan
tanganku untuk menggenggammu
sehingga mataku makin
melebur kabur
jatuh lewat remah-remah
tubuhmu tubuhku
tidak lupa kutumpahkan doa pada semesta
agar pemotonganmu selesai tanpa luka
maka bersabarlah menahan rasa sakit
sampai gunting makin
selesai menderit
pun sebentar lagi
orang-orang akan memujimu
sebagai ameba yang
tidak mengenal pilu
Purwokerto, 2015
Kepada Pacarku
;
Han
Kita mesti melihat senja dari tepi dermaga
Segala pandangan menjadi berakhir di mata
Rahim langit adalah
samudra yang airnya bergulung
Mengekalkan cahaya
sebelum udara mengabut
Maka beritahu aku
bagaimana cara melepas rindu
Selain menyelesaikan
doa kepergian
Cilacap,
2015
Memotret
Siluet
Kumulai dari memesan
punggung cahaya
Rambut seorang wanita
dikecup angin
Gaunnya berkelebatan
membayang hitam
Membentuk pose tubuh
dipeluk cakrawala
Pada hitungan ketiga
segalanya terdiam
Warna pelangi turun ke
arah tangan
Yang melengkung
memanjatkan doa
Masih kau ingin memesan
bukit di seberang
Membuat sudut pandang
paling beda
Tebing gamping, bukit
kecil, muara,
Lekuk wajah wanita?
Cilacap, 2015
Ruh
; Hayy
air yang kau tumpahkan
ke dalam gelas-gelas
adalah ruh yang dituang
Tuhan ke jantung-jantung
aku menunggalkan sepoci
air minum
lalu kutuang pada dua
cangkirmu
separuh kusiramkan ke
bunga-bunga beku
sisanya menderas di
dalam jantungku
yang Dia didihkan
uapnya bergerak ke atas
menghabiskan ruhku
bermuara
mengalir
ke gelas-gelas yang lain
Purwokerto, 2015
Sarang
Malam itu, ia datang
sebagai ibu. Menyusup celah-celah hujan, dengan payung yang mekar. Memasuki
rumah: cumalah seberkas cahaya dari lilin yang nyala. Aku membeku. Sementara
malam terus menderus; memahat langit yang makin sengit. Ia nyalakan satu lilin
lagi, biar berpijar di kedalaman hati.
Malam itu, ia datang dari pematang jalan.
Membuka pintu. Memelukku, sambil membisikkan al-Qur’an surat ke dua puluh enam
ayat dua puluh enam. Bajunya basah: menembus sampai jantungku. Ia malah seperti
peluru yang bisa membunuhku. Mengguncangkan dada. Dingin angin mendesir, hampir
mengusir ruhku.
O, demi Dzat yang menggenggam nafasku. Malam
itu, ia meluruhkan kecupan dari bibirku. Dengan mata penuh rahasia, dan tubuh
berselimut belacu. Ia membuat sarang doa
dari air mata; memabukkan nyala cahaya.
Kecuali, ada kilat pedang
yang menyambar urat nadiku. Seperti rona halilintar di luar. Malam makin
murung. Apakah doa tetap bisa menembus langit?
Pergilah, biar kau bisa
kembali. Aku belum punya puisi yang bisa menumpahkan darah manusia. Biar
ngalir, lalu aku kena fobia.
Demi malam yang berwarna kopi; lalu kami
mengekalkan sunyi.
Purwokerto, 2015
Kotak Surat
Di depan rumah beranyam bambu tempat kita
belajar filsafat, kotak surat meneteskan air berwarna merah seperti atap rumah
yang bocor. Aku membuka pintunya, ada amplop merah agak basah. Dalamnya
menyimpan selembar kertas bertuliskan deretan kata; dari jejak kuas yang
dicelupkan ke semangkuk darah manusia. Atau dari batang nadi si pengirim yang
muncrat sehabis dipotong. Tidak ada nama, alamat, atau kode pos si pengirim.
Bau anyir menyusup ke hidungku. Aish, si pengirim tahu bahwa aku menderita
hematofobia!
Perempuan memotong rona
cakrawala yang pijar. Ini darahku yang ia curi dari langit. Ia tidak membeli
kanvas. Tetapi ia curi sesobek kertas dari buku diariku. Hanya meninggalkan kesetiaanku padamu.
Purwokerto, 2015
Mengambil Malam di Kantong
Bajumu
;
Han
Sebagai perempuan dengan malam-malam paling
insomnia. Menunggui lelaki yang menepi di bawah temaram lampu taman. Sama-sama,
kita mendengarkan denting malam. Pecah di dada kita. Doa-doa menguap sebelum
fajar. Kita menghirupnya, ada isyarat dari langit yang membuka.
Kau mengambil sekotak krayon. Melukisi langit
sampai subuh. Selalu mengajakku bicara, soal lampu taman yang menelan kelam.
Lampu telah lama menunggu waktu untuk mati saja. Saat kita berkunjung, ia
memendam rasa cemburu.
Ada baiknya esok kita
memasang satu lampu lagi. Baiklah,
aku yang akan membelikannya di toko perabot rumah tangga. Berikan dulu malam yang kau kantongi di saku
bajumu. Sebelum fajar makin meleleh membakar lukisan wajahku.
Purwokerto,
2015
Ulang
Tahun Puisi
Aku sedang merayakan
ulang tahun sebuah pertemuan. Setahun yang lalu di kelas
puisi kita saling mengenal. Tuan mengajakku bertepekur kepada alam. Sabda,
Tuan: adalah mencium aroma hujan yang berbau kacang sangrai. Angin, Tuan:
selalu merasuk tubuhku sebagai alergi padamu. Sementara kelas ini mewariskan telaga,
dari matamu yang jernih sebagai tempatku berkaca.
Wajahmu rahasia. Kubawa sampai rumah dan
kubuatkan replika berbahan tepung, telur, dan mentega. Dari nyala lilin merah,
cahaya terombang-ambing mencari arah surga yang menjelma puisi. Segala
kaleidoskop berputar-putar memecah sunyi.
Purwokerto, 2015
Malam Paling Cahaya
Berkacalah di tepi kolam depan rumahku
Semoga secercah cahaya jatuh ke dalamnya
Lihat juga wajahmu dari kaca jendela kamarku
Pasti ada belantik yang menusuk tubuhmu
dengan warna bianglala
Juga pasang bola matamu ke lampu taman yang
kesepian
Ada ruh terjatuh di kelopak bunga padma
Dan percayalah, cahaya adalah bias dari air
mata
Mengalir dari
tebing-tebing batin
Yang paling nisbi
Purwokerto, 2015
Di Trotoar
Sorot lampu berpendaran di pohon-pohon ketapang
sementara gerimis menyala
malam memejamkan mata
mengecup punggung jalan
satu-satu
tiba-tiba sepotong sajak jatuh ke rerumput
dari halte, kulihat kamu segera memungut
ia semacam rumah siput yang kosong
lalu kau masuk, tertawa dan melata
aku cuma bisa menjelma bunga kertas
merambati pagar terali rumah ibu
berjalanlah ke arah utara
tubuhku berduri
sebagai tempat bersuci
Purwokerto, 2015
Mengenang
Belimbing
Semalam aku demam di
pangkuan bapak
Sekali dalam ribaan,
aku meminta belimbing
Bapak mengembanku
lewati waktu yang nyampai
pada rahim ibu
Sebutir biji belimbing
ditanam di kebun paling subur
sebagai tanda ruhku berlalu dari hari alastu
Selembar daun dari pohon ‘arsy tumbuh
menulis namaku
dengan warna hijau muda
Mengirim surat kepada doa yang merebah dalam
tanah
Menjaga keselamatan lima sudut lekuk sebagai
pengantar
kelahiran
Bapak menyusupkan doa-doa di dahi dan rambutku
Belimbing dipotong
melintang pada malam menjelang
yang menjelma
tungganganku menuju muara
sementara Ibu menyiram
pohon belimbingku dengan air doa
Purwokerto, 2015
Ketika
Hari Berlalu
Tiga ekor anjing
menyalak dalam mimpinya
Ketika kau mulai masuk
ke rumah tepi rimba
pintu menguap
tiba-tiba, bagai angin menyingkap rahasia
turun dari tikungan paling
tajam
menerobos celah-celah
pinus dan cemara
memunguti jejak tubuhmu
yang terhempas hawa
Aku membaca mimpi
anjing yang terbaring di dekat tempat dudukmu
debu-debu berkeliaran, menumpas dogma yang kita
percayai
menjadi rerimbun pohon, tempat kita menyembunyikan
luka
lalu kau memanjatkan doa:
Tuhan, izinkan aku memasuki labirin waktu
Biar aku kembali menyusun rindu
Banyumas, 2015
Sore
;
Han
Segala rahasia telah kutumpahkan kepada
perahu-perahu,
angin, pasir, dan
langit magenta
kulihat hatimu terapungapung
di muara
aku segera bertanya padamu tentang arah barat
biar kita makin fasih
melewati usia cahaya
ayolah pergi, laut
sudah tidak mau memberi jarak
usah meninggalkan pesan apapun pada dedai ombak
maka segala yang berkecibak, hanya nelayan yang
bisa merombak
menjadi doa
Kebumen, 2015
Ihwal
Air Mata
; Da
aku pun anak air mata
setiap malam menjalar
doa
ke kedalaman niscaya
maka serupa garam yang
senantiasa kutakar
air mata dituang ke
gelas
biar mengkristal
sebelum subuh
sampai aku mulai alpa
menyiram halaman
kenangan
Yogyakarta, 2016
Mengantri Belanja
Sekiranya kau lebih sabar menungguku memutari
pasar
Kau lihat seorang lelaki menyiapkan daftar
belanjaan dari bininya di rumah
sebutir bawang bombai. dua ruas jahe.
seperempat cabai rawit. sekilo beras IR64. dua ons terigu. seikat kacang
panjang. setengah ons rebon. seperempat minyak kelapa. serumpun muncang. klepon. segenggam lempung.
Lihatlah bagaimana dia meminta bawang bombai
Sebutir saja, yang besar. Katanya.
Sehabis diterima, dia amati dengan memutar
dengan jemari
Sambil mengingat bini
ketika meracik bumbu
Yang lebih besar lagi.
Katanya.
Diamati lagi.
Yang lebih besar lagi.
Katanya.
Diamati lagi.
Sayang, ini daftar
belanjaanku. Tunggulah sebentar:
delapan butir telur.
sabun mandi. bawang brambang. minyak sayur. dua butir tomat. teh. ikan asin.
tiga peria. terigu. lima kilogram beras. gula. sabun cuci. serabi. pewangi
pakaian. kerupuk. seperempat cabai rawit. kopi. kencur. tempe mendoan.
Purwokerto, 2016
Mengunjungi Tubuhmu
;
Han
akulah kerinduan:
berkunjung di hatimu
yang seperti ruang tamu
kau menata letak kursi dan meja
; lengang
kau tanam kaktus di pot
sebagai hiasan jendela saat pagi menyibakkan
tirainya
dinding batinmu ada
lukisan seikat ilalang
kau pegang dengan tangan kanan
diulurkan pada teplok yang nyalanya
lebih terang dari
wajahmu
akulah kerinduan:
akan bermalam di rumah
sunyimu
Purwokerto,
2016
Sehabis
Menyayi Lagu Kebangsaan
; buat kotak TV
Aku ingin
membuat cagar manusia yang tergusur
Dari susur tanah
airku. Tangan-tangan ekskavator
Memekarkan
kesedihan atas telunjuk cukong
Aku melihat
seorang berdiri jadi pandu
Membela tanahnya dari khianat dan
mimpi-mimpi negeri sendiri
Ditutuplah
mulutnya untuk ke sekian kalinya
Dan kebungkaman itu, mengajaknya
berlindung pada
kumandang azan yang sebentar lagi
digusur juga
Maka tidurlah pada puing airmata
dan sisa doa.
Mereka menjadi kolase kota yang
mati sebelum tua
Kemudian aku ingin membuat cagar
manusia
Lebih dari negeri melindungi
tumbuhan dan hewan
Bangunlah badannya
biar tidak renta
Mengkhatamkan kesakitan menjadi
sampah yang dibuang
Memangnya
mau sampai kapan, orang mengemis
Digaruk—dilatih
jualan mendoan—kasih satu wajan
Wajan
dijual, mengemis lagi.
Dan mau
sampai kapan, rumah diredam
Direndam, dendam,
tinggalkan.
Bangunlah
jiwanya yang terguncang
dari pancang Gusti Pangeran
Sebab waktu
telah memilih diam bagi orang sakaw dan sekarat
Dan aku ingin membuat cagar manusia
dengan cara paling sopan.
Purwokerto, 2016
Pengawuan
Yung, ini sudah zaman mutakhir
Tungkumu serupa candi dibakar
setiap pagi
Masih saja
betah dengan kejatuhan sawang
yang lebih
hitam dari rambutmu
Yung,
kekayaan tidak diukur dari asap dapur
Suluh
di para kadang basah setelah hujan semalam
Sisa abu kemarin lembap dan sabut
kelapa membuat ublêk
Rambutmu sangit dan masakanmu
sengit
Izinkan aku membongkar dapur, yung
Menanggalkan kayu bakar dan hitam
jelaga
Biar kau tidak lagi répék di
pekarangan tetangga
Seikat klari
buat orang lain saja
Ya yung,
sebab aku tidak bisa menyalakan sepercik api pun.
Purwokerto,
2016
Sawang
= jaring laba-laba, jelaga
Suluh
= kayu bakar
Para
= tempat menyimpan kayu bakar di bawah atap dapur
Ublêk
= banyak asap
Répék
= mencari kayu bakar
Klari
= daun kelapa yang sudah kering
Mesmerisme
Tanyakan pada keraguanmu tentang
permainan ini.
Tidak ada pura-pura dan aku tidak
berpenyakit apapun
Kecuali acap memesan sedih,
daripada tidak punya rasa
Tanyakan pada dugaanmu bahwa aku
berdusta.
Sebab aku rela hidup tanpa rahasia
Maka tidurkan saja segala bising
Yang berdesingdesing di telapak
tanganmu
Mengukur masalah di wajahku
Cepat jatuhkan sekarang atau aku
membuka pejam.
Sudah teralalu jijik dengan gelegak
tawa
Sedang aku tidak melawan upayamu
Hei. Orangorang turunkan keheranan
Aku cepat menggigil dan memburu
udara
Seluruh tubuhku kesemutan
Lidah menggeranyam
Ini bukan hari perburuan atau
pembalasan.
Duduklah dengan tenang dan aku akan
kembali
Dengan lubang kesedihan di raut
hidup
Bernapaslah dengan lega
Aku punya banyak topeng
Topeng mana yang akan kamu pilih
untuk aku pakai hari ini?
Purwokerto,
2016
Belajar
Membaca
Wati
membantu Ibu memasak di dapur
Budi
bermain layang-layang
Katamu aku harus
menjadi perempuan
Sudah kubawakan
masakanku paling spesial
Kamu tarik-ulur senar
yang layang-layangnya
Menukik di jantungku
Purwokerto,
2016
Hari
Bertukar Baju
Lekaslah pulang sebelum
gunting lipat dipaut kancing baju
Di daster warna nyala,
sebab rahimmu tabah sehabis akad nikah
Tubuh tumbuh bersama
jerumat jarum
Saling memberkati
antara benang dan lubang
Biar rapat segala sobek
Menembus tenang di tiap
lipatan, ingatan yang dihilangkan
Ambil saja blus milikku dan jangan pernah
kembali
Ada yang senantiasa merentangkan lengang
Kau akan mengerti siapa yang bertengkar siapa
yang bergetar
Di dadamu telah menderu. Agak lindap oleh rindu
Di bajuku telah membekas pelukan yang tak bisa
dihitung
Kepadamu, semoga cinta berkunjung ke jantung
Kalimat adalah tempatmu bergantung
Rengkuh dan pulanglah, lelakimu telah lupa
bagaimana cara menyiksa
Purwokerto, 2016
Di Ruang Tunggu
Tidurlah di pangkuan ibu selagi wajahmu tawar
dan kedua tangannya gelisah meremas waktu
sebab kau terlalu
sering sakit, maka dengarlah
Lonceng gereja
berdentang-dentang
Memburu adzan magrib
dari atap masjid
dan semua doa didengar
oleh Tuhan masing-masing.
Purwokerto,
2016
Terjemah
Airmata
; Eka Patmawati
Kepada perempuan yang
menangis sendirian:
Tidak ada yang perlu
diperam dalam kamar
Meraung-raung adalah
kesunyian paling mudah dirayakan
Betapa sederhana membaca pertanda pada tetes
pertama
Kita sibuk pada rentetan malam yang rawan
Mengusik tikungan demi tikungan biar meluruhkan
sepi
Sementara kesedihan mana yang mesti jadi
alasan.
Fat, aku pun menangis karena tidak punya rasa!
Purwokerto, 2016
Rungkuh
Fat, ternyata kita
telah menua
Setelah sibuk mengurus
terjemah air mata
Dan menyiapkan diri
untuk menangis lagi
Di beranda, dimulai
menyisir rambut dengan jemari
Aku pernah mengejek
kepalamu yang ditumbuhi uban
Hari ini aku
membiarkanmu mencabut sehelai rambut perakku
Sambil tertawa.
Lantaran wajahku begitu ngilu
Membangunkan diri yang
tertidur dalam bayang-bayang
Apa makna airmata jika
sehabis ini aku menangis, Fat.
Purwokerto,
2016
Tidurlah
di Puing-puing Reklamasi
Tidurlah di puing-puing
reklamasi, nak.
Lupakan karang. Lupakan
sampah di pantai
Lupakan ikan. Lupakan
pasir putih.
Purwokerto,
2016
Terbaring di Ladang Senja
; Han
Mambang kuning turun ke mayapada, kita percaya
sandekala
Siapa yang berani menantang senja yang telah
memar?
Lukanya begitu ngilu dan aku
Senantiasa membuat negasi dari kalimatmu
Sebab senja adalah nisbi, langit abadi
Atau kau lebih mengerti kemana kita pergi
Menyusur waktu dari kelana matahari
Mungkin aku tidak terlalu berani menyayat waktu
Menggenapi bismillah
yang luput diterjemahkan rindu
Purwokerto,
2016
107 Feston Memagari Flanel
;
Surat terakhir untuk Han
Menusuk feston bukanlah cara untuk merayakan luka. Ada
kedamaian paling sempurna ketika jarum keluar dari atas, masuk ke bawah,
mengait untuk menusuk yang lain, dan seterusnya. Bukan berarti aku bisa memperoleh kebahagiaan
dengan menyakiti benda lain. Toh, yang di-feston menjadi indah.
Setidaknya menurut aku. Feston adalah pagar yang kokoh. Seperti rumah yang
dipagari ucapan selamat pagi, semangkuk sup panas di sore hari, atau mawar pink
yang mekar di pinggir kolam ikan sepanjang musim hujan. Tusuk rantai pun bukan
sebuah kerapuhan. Ketika jarum dilepas dari satu kaitan dan ditarik, maka
tertinggal jejak luka dan payah. Sebab benang senantiasa membuat kenangan yang
kokoh, biar mengait hari esok di lingkaran buatan sendiri.
Inilah suratku yang kubuat dengan hati-hati. Tetapi
bacalah seperti aku membuat tusuk jelujur yang tidak disimpul benang ujung. Dan
setelah membaca suratku ini, lipatlah seperti perahu kertas. Biarlah dia
berlayar ke arus yang membawa ke kehormatan perempuan.
Purwokerto, 19 Februari 2016
Biodata:
Farikhatul
‘Ubudiyah, lahir di Banyumas 21
Oktober 1995. Mahasiswa Jurusan Bimbingan Konseling Islam Fakultas Dakwah IAIN
Purwokerto. Selain bergiat di Komunitas Sastra Gubuk Kecil, ia juga menjadi
pimpinan redaksi di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM OBSESI). Tulisannya berupa
puisi dan cerpen pernah dipublikasikan di sedikit media massa, seperti Indopos,
Suara Merdeka, Banjarmasin Post, Minggu Pagi, Satelit Post, Tanjungpinang Pos,
Haluan Padang, Go Cakrawala Makassar, Koran Madura, dan lainnya. Beberapa buku
antologi bersamanya berjudul Di Bawah Sadar Di Atas Sadar (antologi
puisi, FBKI: 2013), Kampus Hijau (antologi puisi, STAINPress: 2014), Stay
Woles and You are Great (nonfiksi remaja, DIVAPress, 2014), Rumah
Penyair 3 (kumpulan puisi, Kepompong: 2015), Pilar Puisi 2 (antologi
puisi, STAINPress: 2015), Suara Mahasiswa di Tengah Ruang Global (antologi
esai, OBSESI Press: 2015). Saat ini sedang melakukan penelitian eksperimen
tentang terapi puisi sebagai represi depresi pada mahasiswa yang dibiayai DIPA
IAIN Purwokerto. Beralamat di: farikhah.ubudiyah@gmail.com, diaryfarikha.blogspot.com. Akun media sosial Tumblr, Facebook, GooglePlus,
Badoo, dan Medium: Farikhatul ‘Ubudiyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar