JOURNAL OF SOLITUDE

Solitude is my idea, to meet God

Senin, 02 Mei 2016

habis ngumpulin puisi



Surat Terakhir
untuk Han
Ikat Rambut

Mencintaiku, telah kauikat rambutku dengan tali pemberi napas. dibawanya rahasia-rahasia, tersimpan di celah untaian mahkota. Kusisiri tiap helai dengan cahaya matamu. dan kaususuri lewat degup jantugku. sehingga kau dan aku menyatu.
urailah rambutku ini, yang sudah lurus memanjang. sama seperti usia yang merambati mentari. kepanglah dahulu dengan jemarimu, agar rahasia menjaga. setelah itu tolong ikatlah rambutku dengan lingkar cintamu, dan Cinta-Nya.

Purwokerto, 2014



Obor
Entah yang keberapa kalinya kau melesat. hilang entah kemana. sedangkan ranting-ranting bambu tidak pernah mendesau, menangis, atau pun berteriak: memanggil namamu. dan aku harus menjelma bulan, agar bisa menyalakan malam yang demikian menyayat nadiku: dengan ilalang yang menusuk malam. dan angin yang menjelma petir. mengoyak jantungku; sampai berebut nyawa dengan Izrail.
Aku harus menyusuri jalanan sunyi, yang dihiasi nyala pucat, seperti di tepi gerbang rumahmu.

Purwokerto, 2014



Bola-bola Air
; Dima Fitriani

Tidak ada yang lebih niscaya daripada bolabola air. setiap gelembungnya menjelma replika bianglala, lalu kau mengaca kepadanya.
Setelah kau tiup rahim bolabola air, udara di dalamnya menyimpan seribu kenangan. berserak di pelataran batinmu. memoar sebelas tahun silam.
Lalu seekor kupukupu terbang menyusuri musim rahasia di hatimu, mengisap rindu kepada satu. metamorfosa: kau meninggalkan euforia. dan bertapa menyusun jelaga pada tubuhmu.
Aih, sebaiknya jangan kau lakukan itu, sayang. bolabola air masih terbang ke pangkuanmu yang menghampar. ikuti angin di matamu, angan di batinmu. menghempaskannya di tubuh hawa, bukan berarti kau ikut mati di pusaran waktu.
Masih ada rahim yang bakal lahirkan bolabola air. katamu, ia bersama angan yang nisbi.

Purwokerto, 2014



Doa

Sebelum purnama luruh di saat subuh
aku memotongnya dengan ilalang yang kembang
separuh kukunyah menjadi sarapan pagi
dan separuh kukantongi
agar tubuhku menjelma cahaya

Purwokerto, 2014



Perempuan

begini katamu;
setelah musim kemarau masak
aku mesti menyerap getah daun jati yang ranggas
menyimpannya di lembar almanak
dengan jejak air mata

begini kataku;
musimku sudah luruh
bersama bau anyir tubuhmu
yang dibalut kembang dalam ritus sunyi

Purwokerto, 2014



Mafela Jingga

Di taman belakang yang kau dapati setiap hari, angin menulis risalahnya dengan putik bunga waru sore itu. Menjelma serangkaian lagu. Dari rentetan daun ilalang, daun bambu, dan daun hatimu. Angin terburu-buru. Mengibaskan sayap capung merah, yang nyampai pada cakrawala doa.
Tinggal sepotong mafela melambaikan doanya kepada senja. Seperti di senja yang lain, buat membungkus matahari. Di remang sebelum kuyup.

Purwokerto, 2014



Aroma Teh-Melati

kudengar detik arloji berloncatan dari tanganmu
saat senja mulai luruh, tertiup aroma teh-melati

pertemuan ini, kau memesan sunyi
aku merapal mantra Lasswell:
          “who says what in with channel
          to whom with what effect?”
kau entah melafal apa

oi, aku berdiskusi dengan arlojimu
sambil memunguti sisa kenangan
sebelum kubaca doa bersama
secangkir teh-melati
kau entah membaca apa

aku membaca mantra
; kuleburkan bersama kabut aroma
dan memesan sunyi
yang sempurna

Purwokerto, 2014



Perahu Kertas
          ; Han

/
Aku menulis namamu
di selembar kertas yang dilipat
serupa perahu
sedang di balik jendela, hujan sekarat
aku menyemat rindu
tiap helai tirainya
kepadamu
//
perahu kertas
kuhanyutkan dari selokan kampus
biar berlabuh di muaramu
dalam doa subuh yang bergemuruh
dalam doa duha yang merupa cahaya
dalam doa dan sujudku
di kedalaman niscaya
          sebuah nama

Purwokerto, 2014



Pertunjukan

/1/
di bawah pohon kersem
aku tahu
kemana arah usia berlabuh

gadis-gadis kecil berlarian, mengejar matahari
melawati ritus pemakaman perawan
yang mati siang tadi
dengan taburan kembang
diwakili epitaf dan kembar mayang

/2/
di taman mengarah senja, sepasang pacar tertawa
bermain ayunan, menghadap taman kamboja
didiskusikannya tentang hari kenduri
mengarak dua kembar mayang

gadis kecil berlarian, membawa papan congklak
menuju gazebo taman
“sepasang pacar, apa yang sedang kau cari
ambil saja di depan nisan itu!”

/3/
Sialan!
aku kejatuhan buah kersem
meluncuri rambutku, menuju selokan
yang tiba-tiba mengalir bau anyir
; mungkin dari seorang perawan!

Purwokerto, 2014



Memo
; Han

Di atas mejamu, kutaruh selembar memo
Yang terbuat dari rimbun embun
Pada rahim batinku

“setelah malam ini berakhir, kau dan aku bertemu
; mengekalkan sepi”

Purwokerto, 2014



Mutilasi

Lelaki yang memotong bambu pagi ini
sama seperti detik jam dinding yang
memotong-motong tubuhku
setiap ruasnya berteriak kepada
pohon-pohon
untuk meneteskan embun di daunnya
kepada luka yang berbau
anyir di setiap jengkal langkah
lalu mengejawantah dalam gundah

Lelaki yang membelah bambu menjadi tali
sama seperti kau yang membelah tubuhku
menjadi fatamorgana bagi ribuan mata
diikatkannya kepada jiwa antara kau dan aku

Purwokerto, 2014



Doa Pantai

ijinkan burung camar menguras laut yang
tak habis-habisnya mendeburkan cinta
menggoyangkan perahu nelayan yang mengambang
dan ketika matahari terapung di awan

ijinkanlah bocah kecil itu membangun istananya
menjadi mahkota raja yang senantiasa
memanjatkan rapalan doa
lalu tiba-tiba dihapuskannya istana
oleh debur-Nya

dan magrib ini sedang menyematkan lembayungnya
sama seperti istri para nelayan yang
menyematkan doa untuk
mengantar suami ke arah nun
dengan perahu yang berjingkat di
atas samudra

sedang kau dan aku masih menatap
batas pasang dan surut ombak
yang merombak doa
menjadi cakrawala

Cilacap, 2014



Sajak untuk Bunga

/mawar/
Demi dzat yang memasang embun pada mahkotamu
Aku melihat doa-doa menguap di antara
Susunan kelopak yang dikuntum subuh
kau merasakan pekat, saat mata memandang seluas cakrawala
dan bisikan doa terus memburu
diburu matahari
lalu mengamininya dengan harum tubuhmu
dan menyapa
; selamat pagi, usia

/seruni/
Susunlah kelopak dalam keabadian
menjadi sayap-sayap yang dipakai olehku
; untuk mengejar matahari

/kamboja/
Lihat!
kau terlepas dari ranting-ranting bisu
dan rebah di atas pusara
membawa malam yang
tak pagi-pagi

Purwokerto, 2014


Sepasang Sayap Sunyi

Malam bentangkan sayapnya
Saat ia semakin menua
Sedang kau aku saling mengadu pilu
Tentang sembilan puluh sembilan rindu
Sampai-sampai bahasa tidak mampu tengadah
Menunjuk kepada satu arah

Purwokerto, 2014



Kosong

/1/
Tuhan kesepian, sayang
Saat malam tidak lagi bercumbu denganmu
Kau lempar purnama lewat jendela
Hingga kamar tertangkap gelap

/2/
Lorong-lorong sepi
Dimakan usia
Kau layangkan tubuh penuh luka
Mengoyak dada, meneguk nyawa
Hingga aku
tiada

Purwokerto, 2014



Cahaya

Cahaya membagi cahaya
Ke segenap semesta
Kepada matahari, bulan, dan bintang
Sampai langit tertangkap cemburu
Wasilah cahaya semakin memburu

Cahaya menyinari cahaya
Dengan shalawat sepanjang masa
Sampai langit menggetarkan singgasana
Untuk lelaki pemilik cahaya

Purwokerto, 2014



Jatuh Cinta
          ; Han

Sampaikanlah kepada temanmu
Bahwa aku memakan kepayang di kebunnya
Hingga mabuk merasuk jiwa

Sampaikanlah kepada temanmu
Bahwa nanti malam bintang akan terbang
Mengarungi cakrawala di hatinya

Purwokerto, 2014



Kau Aku yang Papa

Pohon tidak memandang siapa
Kau atau aku yang papa
Karena ranting tak pernah menunjuk kepada
aneka

sedang kau dan aku bukanlah pohon
yang setiap menatap tak pernah kosong
yang setiap memberi tak pernah iri
yang setiap cinta
mengalirkan mesra

namun kau dan aku adalah papa
menatap cinta kepada luka
merindu hanya kepada pilu
yang tak sempat tersampaikan oleh belenggu

Purwokerto, 2014



Vakansi

/1/
beberapa waktu lalu
aku menjelma kupu-kupu
menggeliat
setelah bertahun pertapaan
/2/
aku merupa bunga
setelah embun merekahkan dunia
; melayu
bersama daun kering yang rindu
getah pohonku
/3/
kali ini aku menjadi ular
melungsungi tubuhku
pada batu terjal
di sungai yang berisik
/4/
dan tubuhku menjadi biji
tertidur dalam gelap tanah
sebelum kuserap air hujan
yang mengecambahkan badan

Purwokerto, 2014



Bulan Merah
          ; Zaka-Zaki

Senja tidak mampu menengadahkan tangannya
menerima suara-suara yang menjerit di
ceruk dinding beton
melalui ruang operasi

setelah terdengar adzan
katanya;
bunda merajut hatinya dengan air mata
lalu diseduh menjadi doa

dan inilah secangkir mata air
dialirkan ke tubuhnya
setelah kelahiran pertama

Purbalingga, 2014



Setelah Menarik Napas

Aku merasakan getir di setiap ujung kelas
Orang-orang lalu-lalang antara koridor fakultas
Membawa cahaya yang disematkan dalam tas
Sedang aku mencium bau anyir tubuhku
yang tertusuk tinta tadi pagi
sampai-sampai aku merasakan remuk tulang-tulangku
menjadi abu-debu

orang-orang masih lalu lalang
dibawanya sebatang pedang
untuk memotong-motong jiwaku
yang sudah kutinggal di selembar kertas

Purwokerto, 2014




Pluviophile

Apa yang kau cintai dari ricik hujan
Sehabis menggugurkan daun belimbing yang telah dibimbingnya tumbuh
Lekas terbaring di tanah, menengadahkan wajah pada hunjam di rembang petang

Hanyalah sepasang kekasih yang berlindung di lengkung payung
Terlanjur menapaki jalanan basah, namun belum cukup membuatnya kuyup
Sebab masih ada sisa simpang jalan yang harus memisahkan
Perempuan melenggangkan tangannya sebelum sampai beranda rumah

Jahat sekali lelaki itu, katamu.

Matamu nyalang mengeja kasih sayang
Sepasang kekasih saling melipat kenangan di gerbang yang bersisian
Sebelum hari makin kabung
Mengungkap rahasia yang kau catat sebagai kesetiaan

Sementara kau lekas mengetuk pintu
Biar aku membukanya sehabis kutingkap dari jendela

Purwokerto, 2015



Tokek

Seekor tokek sembunyi di balik lemari kamar
Telingaku pekak sebab saban malam ia berbunyi
Bila kantukku datang, aku menutup telinga dengan bantal
Biar takutku sedikit hilang

Aku lekas mengundang teman yang bisa bicara dengan hewan
Kuberi sapu biar ia mengusik balik lemari
Sehabis tokek merayap sampai atap
Temanku melepas ikat rambutnya sambil menggeliat
Tiba-tiba ia bergegas menjelma tokek

Purwokerto, 2015



Di Hari Libur

Sesekali kau mengajakku menyiang halaman
ketimbang memotong tangkai bunga agar tumbuh tunas baru
sebab waktu telah sibuk bergelayut pada pergantian musim

rumput kita telah menghijau
aku tidak ingin ada tetangga yang menyayanginya terlebih dahulu
; katamu sambil menanam rindu, mencabut sedu

Purwokerto, 2015



Tempat Bersandar

Aku silap pada tafsir kalimat yang tumbuh dari akar-akar kemarau
Dicatatnya risalah paling tabah di rebah pengkhianatan musim
Sekali kau sentuh batang pohon ini, menyerahlah daun-daun pada angin penjemput ajal
Diranggas nafas setelah perburuan dari pejal tanah kian menghilang
Meski telah diajarkan bagaimana menyulur rindu dari seluruh cemburu
Batang ini mengering sesaat tubuhku berselubung kabung
Menerbangkan catatan yang patuh kepada guruh-guruh

Demikianlah aku membasuh cuaca dengan air mata
Serupa kau menyirami pokok di halaman rumah tiap habis subuh
Dahan-dahan punggur menggugurkan usia yang mengering
Lalu kuizinkan kau menengadah dua telapak tangan ke arah langit
Seberapa sengit waktu memberi tanda dengan cara paling bisu

Purwokerto,  2015


Tempat Menunggu
          ; Han

___meja makan
Meja kayu berlapis irisan papan warna cokelat serupa
Dua cangkir minuman kesukaanmu yang telah bersanding
Pada wadah nasi bersama lauk untuk malam ini
Telah menghirupkan uap rindu lewat hidungku
Merasuk ke ruang paling lengang
Dalam tubuhku                                                                      

Telinga terjaga menunggu suara ketukan pintu
Meski selembut tik-tok arloji yang lekat di lingkar tanganmu
Kubayangkan langkahmu menggetarkan daun-daun kering di luar
Serupa kepingan tahu yang telah dingin di atas piring
Sungguh ingin segera kumakan tanpa dendam

Sepasang kursi sepi sudah lama ingin diduduki
Di situlah mataku khusyuk membasahi doa-doa lapar
Sebenarnya ada pertunjukan sesumbul nasi yang menggelepar
Ikan-ikan kian terdampar, piring putih jelas menghampar
Sementara sebatang sendok terbungkam, dan garpu
Semakin menyayat ruang tungguku

___beranda depan
Waktu telah terbuat dari batu-batu gunung
Kau membawanya sebagai pelengkap diorama di beranda
Gulirannya lambat, tertambat langkahmu yang makin sekarat

Di gang depan rumah ada yang merupa lorong cahaya
Aku menelanjangi gelap biar tersingkap dimana kau menyembunyikan cerita
Gerbang rumah tetangga yang bersisian
Pohon berakar kemarau semakin beraroma kematian
Selokan, papan pengumuman, berjajar halaman
Berasal dari dua butir mataku yang menyimpan khawatir
Merasuki sunyi waktu yang terpelintir

___kamar
Pada upaya persetubuhan malam dan lengang
Entah kemana aku menempatkan tidur sebelum meningkapmu lewat jendela
Seperti angin yang tidak bertepat hati, menghabiskan berjibun cerita dari kepalanya

Kelambu dan ranjang saling bertukar mimpi di sela tidurku yang ragu
Lampu-lampu dimatikan pada tenggat hari berganti
Setelah kau menyimpan pejamku di gagang pintu yang terkunci

Purwokerto, 2015
Pohon Jati

Pada ranggas pohon jati bersaput kemarau
temui aku di tebing paling gamping
lantas berduka kepada yang tumbuh dewasa

Waktu adalah lingkaran tahun
tertumbuk oleh sibuk hutan
yang mengekalkan lengang
di situlah aku bersemadi
melewati seabad mimpi abadi

Purwokerto, 2015




Teman Bercerita

Air yang mendidih dalam panci adalah rindu
Sekali kau tutup rapat-rapat, meluaplah luka ke tubuhku

Matikan saja api yang mengerjapkan nyala merah
Sebab ingatan telah jatuh cinta kepada sumbu nestapa
Angkatlah bejanamu dan tuanglah seperti kata-kata
ke dalam poci puisi
Sayang. Kubuatkan secangkir teh dari air panasmu
Nanti kuajarkan bagaimana cara merayakan luka

Purwokerto, 2015



Menuang Garam

Mencintaimu adalah garam yang dituang
tangan kanan perempuan ke dalam kehidupan
dari lentik jarinya tertakar ketenangan
menjelang kuah santan bergelombang
diaduk irus yang lekang pelukan

di sudut pemujaan, api merayakan harum
perceraian batang serai
dan apungan daun salam
sejumput garam dari tangan perempuan tidak hilang
selama kasih sayang berayunan
di lengkung wajan
sepanjang cinta ditangkupkan

Purwokerto, 2015



Sekotak Nasi untuk Berdua

Nasi kira, ayam goreng bersambal terasi
dalam keadaan damai bersama kemangi
seperti tanah beraroma dedaunan hijau
yang diantar tidur dengan doa kemarau

mentimun kira, nasi yang lebih bahagia
ketimbang selembar kubis belum habis teriris
dibiarkan saja sampai makan siang kita selesai
sambil membaginya jadi dua buat mengelap jari-jari

sambal terasi kira, ayam gorenglah yang paling kuasa
sehingga dioles tubuhnya agar merayakan luka
padahal kau dan aku saling mengatakan
: ini buatmu saja

kukira, sekotak nasi untuk berdua
adalah cara untuk membuatmu
merasa lebih kenyang dari biasanya

Purwokerto, 2015



Upaya Menggambar Dapur

Aku ingin menjadi perempuan
Beraroma pindang dan tumis kangkung
Memagari rumah dengan mangkuk
Ke jendela dapur tetangga

Pada ranum bunga-bunga di halaman
Disiramnya air bekas pesusan
Yang seputih susu ibu
Menghapus embun di pinggiran daun
Sebelum menetes dari tutup segala rebusan

Purwokerto, 2015



Membaca Cermin

Di depan cermin aku bertanya
Dimana letak tengkuk dan telinga
Sementara membaca rupa rindu
Hanya ada debu dan aku

Purwokerto, 2015



Ketulusan Hujan
          ; Han

Aku bisa menulis puisi tanpa mencintaimu
Sebab hujan tidak akan berkhianat pada musim
Membasahkan tanah, tumbuhlah rumput teki
serta ranum bunga
dan hujan rela namanya menjadi musim lain
Semacam musim mangga, musim rambutan, atau durian

Aku pun rela menulis puisi tanpa menghadirkanmu
Sebab benih padi telah ditebar di persemaian
Akan mengecambah sehabis wajahnya menengadah
pada siraman hujan

Purwokerto, 2015



Lampu Taman
          ; Da

Lampu taman lebih menyala dari sepasang mata saling cinta
pendaran daun yang melamun, menunggu mega-mega
menyetubuhi malam

Tidak ada cemburu, sayang.
Padahal ia menahan pelukan
Pada kekasihnya di seberang rumpun bunga

Tolong biarkan tubuhku bersandar padanya
Yang menyembunyikan ciuman sepasang pacar
Di sudut temaram

Purwokerto, 2015



Bangku Taman

Pada bangku taman yang merayakan malam
selembar daun ketapang jatuh ke atasnya

seorang perempuan mengunjungi dengan wajah sayu
bergetarlah daun itu kena percikan air mata
yang menjelma angin
menaburkan cahaya
singgah di depannya
mengalirlah doa-doa sederhana

pagi di hari berikutnya, bangku taman
masih duduk di tempat semula
sebab semalam ia terjaga
dari dengung tangis perempuan

Jangan ganggu tidurnya sepanjang siang, ya.
Ia terlalu letih untuk menunggui kesedihan

Purwokerto, 2015
Sebelum Malam Bicara Kepadaku

di buku harian halaman terakhir, kita bakal kekal
orang-orang menerbangkan berkas bunga
serupa bulu-bulu dandelion yang tersihir angin
merebah di ladang paling rahasia

aku menyelimutinya dengan kain berwarna belacu
biar kusimpan di kedalaman waktu
sambil menikmati doa-doa sebelum kepulangan

di luar, orang-orang mengusik malam
dengan alunan musik jalanan
salah seorang memetik mandolin
lainnya bernyanyi, membenahi diri
menderapkan sepatu, mengukur panjang trotoar

maka malam mengajakku pulang
menyucikan diri di antara rinai hujan

Yogyakarta,  2015



Rahasia Bunga Kopi

Harum bunga kopi yang kuhirup setiap pagi
Mengucapkan salam kepada embun yang tepekur di daun tubuhmu
Seperti sisa air mata yang menggenang di sudut wajah perempuan
Penuh rahasia

Ada sepasang tekukur di dahan paling bergelimun, suaranya merobek halimun
Namun wajah perempuan menyobek sisa kenangan yang
Mendengung
Melintas-lintas
Merantas usia jadi sia-sia
Meranggaskan putik putihnya

Wahai, bunga kopi yang tidak pernah menyesali diri
Akan berlabuh di neraka, sebab engkau tidak punya dosa
Maka kepada nyawa yang menjaga rahasia aroma
Pagi ini aku menyapa
Mengirimkan fatihah untuk hatimu yang memerah
Kutitipkan bola mataku
Di tiap putikmu

Purwokerto, 2015






Jus Tomat

Aku memotong sebutir tomat
Ada doa membunuh yang tersekat
Saat darah mulai mengucur
Sebutir tomat jadi hancur
Dari lubang-lubang parut
Goresan carutmarut

Aku menuangnya ke dalam gelas
Sebelum hatiku ikut mengelupas
Tiada mantra, aku mendengar
Rintih sebutir tomat yang luluh
Telingaku jadi semakin rapuh

Aku menambah air panas dan gula
Melebur bersama
Langit yang makin jingga

Purwokerto, 2015



Sambal Tomat

Ayah, hari makin kusut
Cakrawala adalah tomat yang digoreng sampai keriput
Dua butir bawang putih, sejumput cabai merah, dan garam ikut berpagut
Terasi dibakar, nyala asap melesap
Merayakan upacara rahasia
Tomat dilumat, mengantar doa ke alamat
Waktu dari segala yang terberkati
Tidak lupa menuang gula, menyembunyikan sakit senantiasa

Makan malam
Kusiapkan nasi dari serpihan rezeki
Kucermati setiap butirannya, menjelma cahaya putih sebelum gulita
Sambil bercerita dan tertawa
Di atas olesan jelantah
Melepasi antah
Alhamdulillah,

Purwokerto, 2015



Ikat Rambut, 2

pernah aku kehilangan ikat rambut
kau menyuntingkan sajak
dengan bunga mawar di telingaku
kaurisaukan fonem dan morfem
diikatnya bait paling ritmis
                
maaf, jantungku berdebar
seluruh tangan akan menyanggul
jangan nyatakan rindu
sebelum cahaya yang jelita mengecup bibirmu
dan aku sepenuhnya menjadi perempuan

sekarang aku ingin kehilangan ikat rambut
agar kau bisa menyuntingku seperti puisi

Purwokerto, 2015



Jam Dinding

Aku punya satu jam dinding di kamar
Setiap malam menjelma hantu
Dari titoknya terlahir roh baru

Malam itu, tiba-tiba ia meminta makan
Aku melarangnya, sebab makan tengah malam
hukumnya haram
Jam tidak lagi bicara soal waktu
Jam cumalah pertanda dibaliknya ada penunggu
Jam, lagi-lagi ingin segera membunuhku?

Sambil menyembunyikan jantungku
Segala resah kupintal jadi sesah

Dengan menghisap nestapa
Jam yang binasa
Aku berdoa,
Semoga arwahnya kembali sebelum pagi

Purwokerto, 2015
Perjamuan

Aku akan bercerita ihwal sebuah pesta
Kebahagiaan hanyalah milik juru masak yang seharian merenung di dapur
Biji pala dipenggal, menimang segala cela yang harus dicerna
Bubuk merica makin gelisah, mengarungi segala resah kuah

Kutuang kentang dipotong dadu, cincang ayam kubuat kaldu
Kepada sup, jadilah. Ke dalam mangkuk tercurahlah
Ini, kuletakkan hatiku biar menggoda lidahmu
Lewat ujung sendok yang kautanam
Sebelum kaulumat sampai lembut

Semantara entah kapan api tungku tuntas memberiku luka
Bahkan kuah santan berona cakrawala
Meleleh, tidak juga mengajari orang-orang merasakan kenyang

Purwokerto, 2015



Suara Pagi

/1/
terbuat dari apa
hati yang tenang
ketika dapur
menyisakan kalimat-kalimat rindu
tidak terkatakan

/2/
melalui gelombang air
cerek tembaga di atas tungku
dzikir dituang ke dalam cangkir
lalu diseduh
uapnya akan menembus langit
lewat jalan-jalan paling wingit

/3/
melalui gelisah minyak nabati
segala kasih terhimpun tenang
bukankah ketukan talenan tadi
adalah permintaan paling abadi?

Purwokerto, 2015



Jendela Johari

Setiap nyala langit memeluk sepi
Tirai jendela makin menepi
/1/
Janganlah kau sembunyi untuk bertemu denganku
Kita bisa bicara lewat jendela yang kubuka
Selama pagi masih mengembun, sore meredam hujan
Di palung matamu tetaplah tempatku berkaca
Orang-orang bisa melihat segala rupa
Biar kutebar hening buluh perindu
Sampai sempurna

/2/
Lihatlah aku, mataku buta
Maka seluruh bunga luruh dalam dahaga
Kudengarkan rintih akar-akar tumbang
Suara kumbang kian menghilang
Lalu kau sembunyikan aku di ceruk nyalang matamu?
Disiksa sesakit-sakitnya
Dipalu rindu bertalu-talu
Sementara tanganku meraba cuaca
Yang paling murka

/3/
Aku merupa angin yang membelaimu pelan-pelan
Kusembunyikan sayap rindu berlepasan

Di balik gorden jendela dekat ranjang
Selembar cermin berkilauan
Sebagai tempatku membaca diri
Dari rangkaian cerita paling fantasi

/4/
Bukan sebab malam aku menutup jendela
Memang yang pulang segera meriba

Purwokerto, 2015



Tempat Bertafakur

___dapur
Aku tidak mengerti apa yang mestinya direnungi
Tempatku menjamah pagi dengan sentuhan hati-hati
Perapian selalu diciptakan
Menyulut hari tanpa menggulut matahari

Ada yang perlu kita bicarakan, bukan?
Dari garam yang bulirnya tidak lagi karam
Sebagai bukti iman tanpa banyak pertanyaan
Siungan bawang brambang jangan dibaurkan ya, sayang
Kemana nafsu putih merahmu mesti dipisahkan
Butiran merica dan ketumbar juga kita takar
Mencermati angan masakan agar rasanya tidak tertukar
Bulir beras tak usah kau hitung
Seperti kasih sayang yang selalu berkunjung

Kau tentu telah menyiapkan cobek serta anaknya
Sebilah pisau diasah di gerenda
Selembar talenan menyaput segala luka
Luka dari sayur atau lauk lainnya
Mengakhiri hidup dimutilasi tangan perempuan
Katamu,
“Hei perempuan, jangan menderita dari liku lukamu
Api tungku telah mengungkapkan rindu-rindu”

__sumur
Kenapa kau pergi menutup perigi di sebelah kamar mandi?
Mata air adalah batinmu yang tidak goyah di segala musim
Hidup kadang jadi pongah, sebab lupa pada rahmah yang ruah
Hanya seperangkat timba yang memahami kedalaman cinta
Memberiku bening air terjauh

__taman
Sayang, maukah kau kuajak pergi ke sebuah taman?
Menghitung daun-daun yang gugur dari lengan ranting
Tetapi kita tidak jumpa pada panas berdenting
Ingatlah, aku akan memelihara debar yang mendebur di dada
Lebih dari ketika duduk di bangku pertemuan kita

Purwokerto, 2015



Rantai Sepeda yang Lepas

Sebelum berangkat ke kampus
Ibu memberiku sekantong sangu berisi rindu
Sepeda ungu keluar dari mimpi-mimpi yang belum berpadu
Aku meniupnya dengan rupa doa agar tidak berdebu
Meninggalkan ruang dapur beserta kotak bumbu
Biar hidupku tidak sekedar bertamu, pun tidak mudah ragu

Sebagai anak, aku memberi satu dusta pada Ibu
Kukabarkan bahwa sepeda ungu asyik buat pergi berburu
Bagus warnanya, nyaman mengayuhnya
Lewat ujung batin paling bening
Agar tiada khawatir dari hidup yang getir

Padahal, rentetan rantai lepas dari hari yang kian panas
Maka ada yang lebih duka dari ucapanmu;
Hidup memanglah seperti roda: kadang di atas, kadang di bawah
Jika begitu, kau memerlukan dua katrol dililit rantai
Sepasang pedal asyik berjuntai, yang saling sambung tiada selesai

Sepasang roda siap menghardikku:
Nanti jerujiku akan kian berantakan, Sayang
Seperti istri tetanggamu setiap hari menggugat
Cerai dari rantai suami yang tidak lagi tertambat

Aku mengambil dua batang bolpoin dari tas
Segala yang kubawa berubah menjadi perkakas
Selubang rupa cincin memaut pada gerigi piringan
Layaknya janji yang terikat dalam perjodohan

Aku terpasung di depan gerbang gereja
Mengurus dunia yang hanya selebar katrol sepeda
Supaya terdera miskin-kaya senantiasa
Dan waktu mengajakku bersegera jatuh cinta

Purwokerto, 2015
Di Toko Kuburan

Kuburan dijual di pinggir jalan
Harganya mahal, bila kau membelinya bersama pacar
Sebab hanya kesedihan yang bisa membayar

Seorang perempuan datang sambil menghitung
Air mata yang menetes dari tubir dagu
Dipesannya pusara bertanah cokelat
Bertabur kelopak bunga berbagai warna
Tidak lupa sebuah papan nisan
Menancap di bagian kepala

Pelayan toko segera membuat pesanan
Dihidangkan di atas meja, seperti di restoran
Pemesan diam. Masih menghitung air matanya yang jatuh
Seraya mengucap doa-doa kematian

“adakah alat untuk menulis epitaf?” tanya pemesan

Pelayan mengambilkan kayu bakar yang ujungnya berarang
Dihidangkan di atas meja, seperti di dapur beraroma tungku
yang belum menghabiskan kayu menjadi abu

Perempuan yang menghunjam permintaan
Menabur sebakul kelopak kembang
Bersama kenangan yang selalu bicara

Purwokerto, 2015
Di Kabin Kapal

Akulah aroma laut yang senantiasa menanam rindu pada ibu. Sebab kau datang ke pelabuhan sesaat kapalmu telah berlayar. Dermaga hanyalah sisa ingatan yang menunggumu secepat layung. Jadwal pemberangkatanmu mestinya masih satu jam lagi. Kau terlambat. Calon kapalmu terlihat mengambang. Rambutmu diterbangkan angin sampai menutup segala pandang.
Tubuhmu gamang. Mengeja langkah yang nyampai pada sunyi, sampai pada gadis kecil sedang memancangkan perahu kayunya. Bola matanya bersinar, gaun putihnya seperti baju ulang tahunmu yang ke sembilan.
“Kau hendak kemana? Marilah aku antar sampai tujuan.” Ajaknya dengan mengulurkan tangan kanan.
“Naiklah ke perahuku. Kau akan menemukan Tuhan. Menghirup aroma laut, kelebat angin, basah air asin, dan kau bisa menanam ombak di samudra.” Gadis kecil menarik tanganmu dan kau duduk di perahu kayu. Ia mendayung dengan tenang, dan sampan makin mengapung di arah nun.
“Tentu saja kau terlambat. Arlojimu belum kau ubah dari lingkar tangan ke lingkar waktu.”
Tiba-tiba gadis kecil bermata cakrawala menghilang, dan kau telah di geladak kapal. Dengan isyarat terburu-buru, malam bertambah pekat. Ia meninggalkan desir jantungmu yang telah terjaga.

Purwokerto, 2015



Flanel

Kabu-kabu kubuka dari mata penuh warna
setiap kugunting tak nyampai berdenting
menyobek segala yang bergetar sampai gusar

telah kuulurkan tanganku untuk menggenggammu
sehingga mataku makin melebur kabur
jatuh lewat remah-remah tubuhmu tubuhku

tidak lupa kutumpahkan doa pada semesta
agar pemotonganmu selesai tanpa luka
maka bersabarlah menahan rasa sakit
sampai gunting makin selesai menderit
pun sebentar lagi orang-orang akan memujimu
sebagai ameba yang tidak mengenal pilu
                             
Purwokerto, 2015



Kepada Pacarku
          ; Han

Kita mesti melihat senja dari tepi dermaga
Segala pandangan menjadi berakhir di mata
Rahim langit adalah samudra yang airnya bergulung
Mengekalkan cahaya sebelum udara mengabut

Maka beritahu aku bagaimana cara melepas rindu
Selain menyelesaikan doa kepergian

Cilacap, 2015



Memotret Siluet

Kumulai dari memesan punggung cahaya
Rambut seorang wanita dikecup angin
Gaunnya berkelebatan membayang hitam
Membentuk pose tubuh dipeluk cakrawala

Pada hitungan ketiga segalanya terdiam
Warna pelangi turun ke arah tangan
Yang melengkung memanjatkan doa

Masih kau ingin memesan bukit di seberang
Membuat sudut pandang paling beda
Tebing gamping, bukit kecil, muara,
Lekuk wajah wanita?

Cilacap,  2015



Ruh
; Hayy

air yang kau tumpahkan ke dalam gelas-gelas
adalah ruh yang dituang Tuhan ke jantung-jantung

aku menunggalkan sepoci air minum
lalu kutuang pada dua cangkirmu
separuh kusiramkan ke bunga-bunga beku 
sisanya menderas di dalam jantungku

yang Dia didihkan
uapnya bergerak ke atas
menghabiskan ruhku
bermuara
mengalir
ke gelas-gelas yang lain

Purwokerto, 2015



Sarang

Malam itu, ia datang sebagai ibu. Menyusup celah-celah hujan, dengan payung yang mekar. Memasuki rumah: cumalah seberkas cahaya dari lilin yang nyala. Aku membeku. Sementara malam terus menderus; memahat langit yang makin sengit. Ia nyalakan satu lilin lagi, biar berpijar di kedalaman hati.
Malam itu, ia datang dari pematang jalan. Membuka pintu. Memelukku, sambil membisikkan al-Qur’an surat ke dua puluh enam ayat dua puluh enam. Bajunya basah: menembus sampai jantungku. Ia malah seperti peluru yang bisa membunuhku. Mengguncangkan dada. Dingin angin mendesir, hampir mengusir ruhku.
O, demi Dzat yang menggenggam nafasku. Malam itu, ia meluruhkan kecupan dari bibirku. Dengan mata penuh rahasia, dan tubuh berselimut belacu. Ia  membuat sarang doa dari air mata; memabukkan nyala cahaya.
Kecuali, ada kilat pedang yang menyambar urat nadiku. Seperti rona halilintar di luar. Malam makin murung. Apakah doa tetap bisa menembus langit?
Pergilah, biar kau bisa kembali. Aku belum punya puisi yang bisa menumpahkan darah manusia. Biar ngalir, lalu aku kena fobia.
Demi malam yang berwarna kopi; lalu kami mengekalkan sunyi.

Purwokerto, 2015



Kotak Surat

Di depan rumah beranyam bambu tempat kita belajar filsafat, kotak surat meneteskan air berwarna merah seperti atap rumah yang bocor. Aku membuka pintunya, ada amplop merah agak basah. Dalamnya menyimpan selembar kertas bertuliskan deretan kata; dari jejak kuas yang dicelupkan ke semangkuk darah manusia. Atau dari batang nadi si pengirim yang muncrat sehabis dipotong. Tidak ada nama, alamat, atau kode pos si pengirim. Bau anyir menyusup ke hidungku. Aish, si pengirim tahu bahwa aku menderita hematofobia!
Perempuan memotong rona cakrawala yang pijar. Ini darahku yang ia curi dari langit. Ia tidak membeli kanvas. Tetapi ia curi sesobek kertas dari buku diariku. Hanya  meninggalkan kesetiaanku padamu.

Purwokerto, 2015



Mengambil Malam di Kantong Bajumu
          ; Han

Sebagai perempuan dengan malam-malam paling insomnia. Menunggui lelaki yang menepi di bawah temaram lampu taman. Sama-sama, kita mendengarkan denting malam. Pecah di dada kita. Doa-doa menguap sebelum fajar. Kita menghirupnya, ada isyarat dari langit yang membuka.
Kau mengambil sekotak krayon. Melukisi langit sampai subuh. Selalu mengajakku bicara, soal lampu taman yang menelan kelam. Lampu telah lama menunggu waktu untuk mati saja. Saat kita berkunjung, ia memendam rasa cemburu.
Ada baiknya esok kita memasang satu lampu lagi. Baiklah, aku yang akan membelikannya di toko perabot rumah tangga. Berikan dulu malam yang kau kantongi di saku bajumu. Sebelum fajar makin meleleh membakar lukisan wajahku.

Purwokerto, 2015


Ulang Tahun Puisi

Aku sedang merayakan ulang tahun sebuah pertemuan. Setahun yang lalu di kelas puisi kita saling mengenal. Tuan mengajakku bertepekur kepada alam. Sabda, Tuan: adalah mencium aroma hujan yang berbau kacang sangrai. Angin, Tuan: selalu merasuk tubuhku sebagai alergi padamu. Sementara kelas ini mewariskan telaga, dari matamu yang jernih sebagai tempatku berkaca.
Wajahmu rahasia. Kubawa sampai rumah dan kubuatkan replika berbahan tepung, telur, dan mentega. Dari nyala lilin merah, cahaya terombang-ambing mencari arah surga yang menjelma puisi. Segala kaleidoskop berputar-putar memecah sunyi.

Purwokerto, 2015



Malam Paling Cahaya

Berkacalah di tepi kolam depan rumahku
Semoga secercah cahaya jatuh ke dalamnya
Lihat juga wajahmu dari kaca jendela kamarku
Pasti ada belantik yang menusuk tubuhmu
dengan warna bianglala
Juga pasang bola matamu ke lampu taman yang kesepian
Ada ruh terjatuh di kelopak bunga padma

Dan percayalah, cahaya adalah bias dari air mata
Mengalir dari tebing-tebing batin
Yang paling nisbi

Purwokerto, 2015



Di Trotoar

Sorot lampu berpendaran di pohon-pohon ketapang
sementara gerimis menyala
malam memejamkan mata
mengecup punggung jalan
satu-satu

tiba-tiba sepotong sajak jatuh ke rerumput
dari halte, kulihat kamu segera memungut
ia semacam rumah siput yang kosong
lalu kau masuk, tertawa dan melata
aku cuma bisa menjelma bunga kertas
merambati pagar terali rumah ibu

berjalanlah ke arah utara
tubuhku berduri
sebagai tempat bersuci

Purwokerto, 2015



Mengenang Belimbing

Semalam aku demam di pangkuan bapak
Sekali dalam ribaan, aku meminta belimbing
Bapak mengembanku lewati waktu yang nyampai
pada rahim ibu

Sebutir biji belimbing ditanam di kebun paling subur
sebagai tanda ruhku berlalu dari hari alastu
Selembar daun dari pohon ‘arsy tumbuh menulis namaku
dengan warna hijau muda
Mengirim surat kepada doa yang merebah dalam tanah
Menjaga keselamatan lima sudut lekuk sebagai pengantar
kelahiran

Bapak menyusupkan doa-doa di dahi dan rambutku
Belimbing dipotong melintang pada malam menjelang
yang menjelma tungganganku menuju muara
sementara Ibu menyiram pohon belimbingku dengan air doa

Purwokerto, 2015



Ketika Hari Berlalu

Tiga ekor anjing menyalak dalam mimpinya
Ketika kau mulai masuk ke rumah tepi rimba
pintu menguap tiba-tiba, bagai angin menyingkap rahasia
turun dari tikungan paling tajam
menerobos celah-celah pinus dan cemara
memunguti jejak tubuhmu yang terhempas hawa

Aku membaca mimpi anjing yang terbaring di dekat tempat dudukmu
debu-debu berkeliaran, menumpas dogma yang kita percayai
menjadi rerimbun pohon, tempat kita menyembunyikan luka

lalu kau memanjatkan doa:
Tuhan, izinkan aku memasuki labirin waktu
Biar aku kembali menyusun rindu

Banyumas, 2015



Sore
          ; Han

Segala rahasia telah kutumpahkan kepada perahu-perahu,
angin, pasir, dan langit magenta
kulihat hatimu terapungapung di muara
aku segera bertanya padamu tentang arah barat
biar kita makin fasih melewati usia cahaya

ayolah pergi, laut sudah tidak mau memberi jarak
usah meninggalkan pesan apapun pada dedai ombak
maka segala yang berkecibak, hanya nelayan yang bisa merombak
menjadi doa

Kebumen, 2015
Ihwal Air Mata
          ; Da

aku pun anak air mata
setiap malam menjalar doa
ke kedalaman niscaya
              
maka serupa garam yang senantiasa kutakar
air mata dituang ke gelas
biar mengkristal sebelum subuh
sampai aku mulai alpa
menyiram halaman kenangan

Yogyakarta, 2016



Mengantri Belanja

Sekiranya kau lebih sabar menungguku memutari pasar
Kau lihat seorang lelaki menyiapkan daftar belanjaan dari bininya di rumah

sebutir bawang bombai. dua ruas jahe. seperempat cabai rawit. sekilo beras IR64. dua ons terigu. seikat kacang panjang. setengah ons rebon. seperempat minyak kelapa. serumpun  muncang. klepon. segenggam lempung.

Lihatlah bagaimana dia meminta bawang bombai
Sebutir saja, yang besar. Katanya.
Sehabis diterima, dia amati dengan memutar dengan jemari
Sambil mengingat bini ketika meracik bumbu

Yang lebih besar lagi. Katanya.
Diamati lagi.
Yang lebih besar lagi. Katanya.
Diamati lagi.

Sayang, ini daftar belanjaanku. Tunggulah sebentar:

delapan butir telur. sabun mandi. bawang brambang. minyak sayur. dua butir tomat. teh. ikan asin. tiga peria. terigu. lima kilogram beras. gula. sabun cuci. serabi. pewangi pakaian. kerupuk. seperempat cabai rawit. kopi. kencur. tempe mendoan.

Purwokerto, 2016



Mengunjungi Tubuhmu
          ; Han

akulah kerinduan:
berkunjung di hatimu yang seperti ruang tamu
kau menata letak kursi dan meja
; lengang
kau tanam kaktus di pot
sebagai hiasan jendela saat pagi menyibakkan tirainya

dinding batinmu ada lukisan seikat ilalang
kau pegang dengan tangan kanan
diulurkan pada teplok yang nyalanya
lebih terang dari wajahmu

akulah kerinduan:
akan bermalam di rumah sunyimu

Purwokerto, 2016



Sehabis Menyayi Lagu Kebangsaan
          ; buat kotak TV

Aku ingin membuat cagar manusia yang tergusur
Dari susur tanah airku. Tangan-tangan ekskavator
Memekarkan kesedihan atas telunjuk cukong

Aku melihat seorang berdiri jadi pandu
Membela tanahnya dari khianat dan
mimpi-mimpi negeri sendiri
Ditutuplah mulutnya untuk ke sekian kalinya
Dan kebungkaman itu, mengajaknya berlindung pada
kumandang azan yang sebentar lagi digusur juga
Maka tidurlah pada puing airmata dan sisa doa.
Mereka menjadi kolase kota yang mati sebelum tua

Kemudian aku ingin membuat cagar manusia
Lebih dari negeri melindungi tumbuhan dan hewan
Bangunlah badannya biar tidak renta
Mengkhatamkan kesakitan menjadi sampah yang dibuang
Memangnya mau sampai kapan, orang mengemis
Digaruk—dilatih jualan mendoan—kasih satu wajan
Wajan dijual, mengemis lagi.
Dan mau sampai kapan, rumah diredam
Direndam, dendam, tinggalkan.

Bangunlah jiwanya yang terguncang dari pancang Gusti Pangeran
Sebab waktu telah memilih diam bagi orang sakaw dan sekarat
Dan aku ingin membuat cagar manusia dengan cara paling sopan.

Purwokerto, 2016


Pengawuan

Yung, ini sudah zaman mutakhir
Tungkumu serupa candi dibakar setiap pagi
Masih saja betah dengan kejatuhan sawang
yang lebih hitam dari rambutmu

Yung, kekayaan tidak diukur dari asap dapur
Suluh di para kadang basah setelah hujan semalam
Sisa abu kemarin lembap dan sabut kelapa membuat ublêk
Rambutmu sangit dan masakanmu sengit

Izinkan aku membongkar dapur, yung
Menanggalkan kayu bakar dan hitam jelaga
Biar kau tidak lagi répék di pekarangan tetangga
Seikat klari buat orang lain saja
Ya yung, sebab aku tidak bisa menyalakan sepercik api pun.

Purwokerto, 2016

Sawang = jaring laba-laba, jelaga
Suluh = kayu bakar
Para = tempat menyimpan kayu bakar di bawah atap dapur
Ublêk = banyak asap
Répék = mencari kayu bakar
Klari = daun kelapa yang sudah kering



Mesmerisme

Tanyakan pada keraguanmu tentang permainan ini.
Tidak ada pura-pura dan aku tidak berpenyakit apapun
Kecuali acap memesan sedih, daripada tidak punya rasa

Tanyakan pada dugaanmu bahwa aku berdusta.
Sebab aku rela hidup tanpa rahasia
Maka tidurkan saja segala bising
Yang berdesingdesing di telapak tanganmu
Mengukur masalah di wajahku

Cepat jatuhkan sekarang atau aku membuka pejam.
Sudah teralalu jijik dengan gelegak tawa
Sedang aku tidak melawan upayamu

Hei. Orangorang turunkan keheranan
Aku cepat menggigil dan memburu udara
Seluruh tubuhku kesemutan
Lidah menggeranyam
Ini bukan hari perburuan atau pembalasan.
Duduklah dengan tenang dan aku akan kembali
Dengan lubang kesedihan di raut hidup

Bernapaslah dengan lega
Aku punya banyak topeng
Topeng mana yang akan kamu pilih untuk aku pakai hari ini?

Purwokerto, 2016



Belajar Membaca

Wati membantu Ibu memasak di dapur
Budi bermain layang-layang

Katamu aku harus menjadi perempuan
Sudah kubawakan masakanku paling spesial
Kamu tarik-ulur senar yang layang-layangnya
Menukik di jantungku

Purwokerto, 2016



Hari Bertukar Baju

Lekaslah pulang sebelum gunting lipat dipaut kancing baju
Di daster warna nyala, sebab rahimmu tabah sehabis akad nikah
Tubuh tumbuh bersama jerumat jarum
Saling memberkati antara benang dan lubang
Biar rapat segala sobek
Menembus tenang di tiap lipatan, ingatan yang dihilangkan

Ambil saja blus milikku dan jangan pernah kembali
Ada yang senantiasa merentangkan lengang
Kau akan mengerti siapa yang bertengkar siapa yang bergetar
Di dadamu telah menderu. Agak lindap oleh rindu

Di bajuku telah membekas pelukan yang tak bisa dihitung
Kepadamu, semoga cinta berkunjung ke jantung
Kalimat adalah tempatmu bergantung
Rengkuh dan pulanglah, lelakimu telah lupa bagaimana cara menyiksa

Purwokerto, 2016

Di Ruang Tunggu

Tidurlah di pangkuan ibu selagi wajahmu tawar
dan kedua tangannya gelisah meremas waktu
sebab kau terlalu sering sakit, maka dengarlah
Lonceng gereja berdentang-dentang
Memburu adzan magrib dari atap masjid
dan semua doa didengar oleh Tuhan masing-masing.

Purwokerto, 2016



Terjemah Airmata
          ; Eka Patmawati

Kepada perempuan yang menangis sendirian:
Tidak ada yang perlu diperam dalam kamar
Meraung-raung adalah kesunyian paling mudah dirayakan
Betapa sederhana membaca pertanda pada tetes pertama

Kita sibuk pada rentetan malam yang rawan
Mengusik tikungan demi tikungan biar meluruhkan sepi
Sementara kesedihan mana yang mesti jadi alasan.
Fat, aku pun menangis karena tidak punya rasa!

Purwokerto, 2016
 
Rungkuh

Fat, ternyata kita telah menua
Setelah sibuk mengurus terjemah air mata
Dan menyiapkan diri untuk menangis lagi
Di beranda, dimulai menyisir rambut dengan jemari

Aku pernah mengejek kepalamu yang ditumbuhi uban
Hari ini aku membiarkanmu mencabut sehelai rambut perakku
Sambil tertawa. Lantaran wajahku begitu ngilu
Membangunkan diri yang tertidur dalam bayang-bayang

Apa makna airmata jika sehabis ini aku menangis, Fat.

Purwokerto, 2016



Tidurlah di Puing-puing Reklamasi

Tidurlah di puing-puing reklamasi, nak.
Lupakan karang. Lupakan sampah di pantai
Lupakan ikan. Lupakan pasir putih.

Purwokerto, 2016



Terbaring di Ladang Senja
; Han

Mambang kuning turun ke mayapada, kita percaya sandekala
Siapa yang berani menantang senja yang telah memar?
Lukanya begitu ngilu dan aku
Senantiasa membuat negasi dari kalimatmu
Sebab senja adalah nisbi, langit abadi
Atau kau lebih mengerti kemana kita pergi
Menyusur waktu dari kelana matahari

Mungkin aku tidak terlalu berani menyayat waktu
Menggenapi bismillah yang luput diterjemahkan rindu

Purwokerto, 2016



107 Feston Memagari Flanel
          ; Surat terakhir untuk Han

Menusuk feston bukanlah cara untuk merayakan luka. Ada kedamaian paling sempurna ketika jarum keluar dari atas, masuk ke bawah, mengait untuk menusuk yang lain, dan seterusnya. Bukan berarti aku bisa memperoleh kebahagiaan dengan menyakiti benda lain. Toh, yang di-feston menjadi indah. Setidaknya menurut aku. Feston adalah pagar yang kokoh. Seperti rumah yang dipagari ucapan selamat pagi, semangkuk sup panas di sore hari, atau mawar pink yang mekar di pinggir kolam ikan sepanjang musim hujan. Tusuk rantai pun bukan sebuah kerapuhan. Ketika jarum dilepas dari satu kaitan dan ditarik, maka tertinggal jejak luka dan payah. Sebab benang senantiasa membuat kenangan yang kokoh, biar mengait hari esok di lingkaran buatan sendiri.
Inilah suratku yang kubuat dengan hati-hati. Tetapi bacalah seperti aku membuat tusuk jelujur yang tidak disimpul benang ujung. Dan setelah membaca suratku ini, lipatlah seperti perahu kertas. Biarlah dia berlayar ke arus yang membawa ke kehormatan perempuan.

Purwokerto, 19 Februari 2016
Biodata:
Farikhatul ‘Ubudiyah, lahir di Banyumas 21 Oktober 1995. Mahasiswa Jurusan Bimbingan Konseling Islam Fakultas Dakwah IAIN Purwokerto. Selain bergiat di Komunitas Sastra Gubuk Kecil, ia juga menjadi pimpinan redaksi di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM OBSESI). Tulisannya berupa puisi dan cerpen pernah dipublikasikan di sedikit media massa, seperti Indopos, Suara Merdeka, Banjarmasin Post, Minggu Pagi, Satelit Post, Tanjungpinang Pos, Haluan Padang, Go Cakrawala Makassar, Koran Madura, dan lainnya. Beberapa buku antologi bersamanya berjudul Di Bawah Sadar Di Atas Sadar (antologi puisi, FBKI: 2013), Kampus Hijau (antologi puisi, STAINPress: 2014), Stay Woles and You are Great (nonfiksi remaja, DIVAPress, 2014), Rumah Penyair 3 (kumpulan puisi, Kepompong: 2015), Pilar Puisi 2 (antologi puisi, STAINPress: 2015), Suara Mahasiswa di Tengah Ruang Global (antologi esai, OBSESI Press: 2015). Saat ini sedang melakukan penelitian eksperimen tentang terapi puisi sebagai represi depresi pada mahasiswa yang dibiayai DIPA IAIN Purwokerto. Beralamat di: farikhah.ubudiyah@gmail.com, diaryfarikha.blogspot.com. Akun media sosial Tumblr, Facebook, GooglePlus, Badoo, dan Medium: Farikhatul ‘Ubudiyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar