Sudah lama saya tidak menuliskan surat
buatmu, Sayang. Apa kabar
sampai hari ini? Ada yang lengang dari anganku. Barangkali bayangmu telah lesap
dipeluk waktu. Tetapi saya begitu menikmati hidup yang baru; tanpamu. Saya
punya pacar baru, sebut saja namanya puisi. Dia menjadikanku selalu insomnia,
jadi menyukai wedang teh dan kopi, dan mengajariku menjadi perempuan.
Di liburan menuju kuliah semester V, ada yang harus saya syukuri.
Pertama, saya bersyukur karena sudah dua tahun mengenalmu. Di sebuah musim yang
mengajakku untuk mencium aroma hujan, saya mengenal wajahmu serupa puisi.
Entah, ada berapa puisi yang kutujukan kepadamu, tetapi tetap saja saya
sembunyikan perasaan ingin memiliki. (Abaikan hal ini!!) Kedua, saya mesti bersyukur
sebab Indeks Prestasi semester IV berjumlah 3,72. Saya sungguh tidak puas
dengan itu. Apalagi nilai sebuah mata kuliah dengan bobot 3 SKS harus mendapat
nilai C+. Barangkali ini pertama kali saya kuliah dengan nilai sejelek itu.
Tetapi kata teman-teman saya, IP itu sudah tinggi. Baiklah, tugas saya hanya
mensyukuri. Ketiga, saya juga harus bersyukur, saya bisa mengenal puisi.
Beberapa puisi saya sudah dimuat di media massa. Saya tidak peduli dengan
jangkauannya, baik lokal maupun nasional. Ada satu hal yang harus saya ingat,
saya mempunyai doa ibu.
Percayalah, Sayang. Saya mencintaimu. Bukan karena puisi,
kata-kata, atau parasmu yang rupawan. Ada debar yang ingar ketika kamu lewat
dalam bayang. Belakangan
ini saya mengingat sebuah benda bernama over pal. Saya menginginkan
bersamamu sepertinya. Bagaimana? Di sebuah pintu yang berderit, kamu juga suka
memainkannya, membuka dan menutupnya, menikmati suara jerit pintu yang aus.
Saya pernah kehilangan kunci pintu. Tidak ada yang bisa menemukannya, apalagi kunci
itu hanya satu. Suatu hari, dengan melewati jendela layaknya pencuri, seseorang
masuk untuk mendobraknya dari dalam. Kebetulan
pintu itu terdiri dari dua potong. Hari itu juga, saya ke sebuah toko besi dan
membeli over pal bersama gembok. Saya terdiam di depan benda material
bangunan itu, tetapi ada yang saya inginkan dari mereka. Soal over pal, satu
bagian dengan bagian lainnya ada kalanya terbuka, menjauh, dan sama-sama
menunggu seorang menutup pintu. Merekatkannya kembali, ke dalam kesetiaan yang
tak terbatas. Satu lagi, saya juga membeli gembok. Tentu saja, Sayang, bersama
kuncinya. Bukankah sebuah kunci hanya akan bisa memasuki gembok yang satu;
jodohnya, dan tidak akan mau membuka hatinya kepada gembok yang lain? Ini bukan
soal impianku untuk pergi ke Paris lalu menggembok cinta kita. Bukan. Sama
sekali saya tidak memikirkan itu. Tetapi kita pun harus memilih. Kamu menjadi over
pal atau menjadi gembok. Agar kita saling menutup rapat daun pintu yang
rusak itu, dengan sederhana yang paling puisi.
Purwokerto, 06 Agustus 2015, 00.00 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar