JOURNAL OF SOLITUDE

Solitude is my idea, to meet God

Senin, 10 Agustus 2015

Pintu, Rumah, dan Syukur

Sudah lama saya tidak menuliskan surat buatmu, Sayang. Apa kabar sampai hari ini? Ada yang lengang dari anganku. Barangkali bayangmu telah lesap dipeluk waktu. Tetapi saya begitu menikmati hidup yang baru; tanpamu. Saya punya pacar baru, sebut saja namanya puisi. Dia menjadikanku selalu insomnia, jadi menyukai wedang teh dan kopi, dan mengajariku menjadi perempuan.
Di liburan menuju kuliah semester V, ada yang harus saya syukuri. Pertama, saya bersyukur karena sudah dua tahun mengenalmu. Di sebuah musim yang mengajakku untuk mencium aroma hujan, saya mengenal wajahmu serupa puisi. Entah, ada berapa puisi yang kutujukan kepadamu, tetapi tetap saja saya sembunyikan perasaan ingin memiliki. (Abaikan hal ini!!) Kedua, saya mesti bersyukur sebab Indeks Prestasi semester IV berjumlah 3,72. Saya sungguh tidak puas dengan itu. Apalagi nilai sebuah mata kuliah dengan bobot 3 SKS harus mendapat nilai C+. Barangkali ini pertama kali saya kuliah dengan nilai sejelek itu. Tetapi kata teman-teman saya, IP itu sudah tinggi. Baiklah, tugas saya hanya mensyukuri. Ketiga, saya juga harus bersyukur, saya bisa mengenal puisi. Beberapa puisi saya sudah dimuat di media massa. Saya tidak peduli dengan jangkauannya, baik lokal maupun nasional. Ada satu hal yang harus saya ingat, saya mempunyai doa ibu.
Percayalah, Sayang. Saya mencintaimu. Bukan karena puisi, kata-kata, atau parasmu yang rupawan. Ada debar yang ingar ketika kamu lewat dalam bayang. Belakangan ini saya mengingat sebuah benda bernama over pal. Saya menginginkan bersamamu sepertinya. Bagaimana? Di sebuah pintu yang berderit, kamu juga suka memainkannya, membuka dan menutupnya, menikmati suara jerit pintu yang aus. Saya pernah kehilangan kunci pintu. Tidak ada yang bisa menemukannya, apalagi kunci itu hanya satu. Suatu hari, dengan melewati jendela layaknya pencuri, seseorang masuk untuk mendobraknya dari dalam. Kebetulan pintu itu terdiri dari dua potong. Hari itu juga, saya ke sebuah toko besi dan membeli over pal bersama gembok. Saya terdiam di depan benda material bangunan itu, tetapi ada yang saya inginkan dari mereka. Soal over pal, satu bagian dengan bagian lainnya ada kalanya terbuka, menjauh, dan sama-sama menunggu seorang menutup pintu. Merekatkannya kembali, ke dalam kesetiaan yang tak terbatas. Satu lagi, saya juga membeli gembok. Tentu saja, Sayang, bersama kuncinya. Bukankah sebuah kunci hanya akan bisa memasuki gembok yang satu; jodohnya, dan tidak akan mau membuka hatinya kepada gembok yang lain? Ini bukan soal impianku untuk pergi ke Paris lalu menggembok cinta kita. Bukan. Sama sekali saya tidak memikirkan itu. Tetapi kita pun harus memilih. Kamu menjadi over pal atau menjadi gembok. Agar kita saling menutup rapat daun pintu yang rusak itu, dengan sederhana yang paling puisi.


Purwokerto, 06 Agustus 2015, 00.00 WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar