JOURNAL OF SOLITUDE

Solitude is my idea, to meet God

Senin, 08 Juni 2015

Terapi Puisi

Puisi bagi orang awam sering disebut juga karya fiksi atau hasil dari imajinasi pengarangnya. Padahal, proses kreatif sebuah puisi adalah manifestasi pengarang dari kecemasan yang ada di pikiran bawah sadar. Puisi, baik bercerita tentang kehidupan sosial maupun transendental, pada hakikatnya merupakan cara yang ampuh untuk mengurangi kegelisahan.
Proses kreatif melalui jalan psike yang diejawantahkan menjadi puisi memiliki makna yang tidak bisa dipandang dari sudut bahasa saja. Menurut Ratna: faktor psikologis melahirkan unsur sikap untuk berekspresi, dengan ciri-ciri subjektif imajinatif.[1] Jalan jiwa ini diidentikkan bahwa pengarang akan menulis ketika berada di tempat yang sunyi. Freud menyatakan: Penulis sebenarnya membiarkan dirinya sendiri untuk hidup di dalam dunia khayal mereka, sehingga efektif menyibak prinsip realitas, lalu menggunakan fantasi mereka secara kreatif.[2] Meskipun pendapat ini ditentang oleh banyak kalangan, disisi lain pun banyak orang yang melakukan hal seperti itu.
Abdul Wachid B.S. menyebut proses kreatif ini dengan jalan spiritual, yaitu: Penyair hanya bertugas sebagai pelaksana dari suara ruh. Sementara itu, ruh memerlukan badan, yakni bahasa, dan karenanya suara ruh itu meminta bahasa agar dapat meruang dan mewaktu.[3] Suara ruh ini yang menyebabkan kurangnya kegelisahan setelah pengarang menuangkan ke dalam bentuk tulisan.
Puisi sebagai bagian dari karya sastra memiliki hubungan erat dengan aspek psikologis, atau lebih dikenal dengan psikologi sastra. Psikologi sastra berfungsi untuk memahami karya sastra dari sisi emosi pengarang dan karyanya. Albertine Minderop menyatakan bahwa psikologi sastra dipengaruhi oleh beberapa hal:
Pertama, karya sastra merupakan kreasi dari suatu proses kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada pada situasi setengah sadar (subconscious) yang selanjutnya dituangkan ke dalam bentuk conscious. Kedua, telaah psikologi sastra adalah kajian yang menelaah cerminan psikologis dalam diri para tokoh yang disajikan sedemikian rupa oleh pengarang sehingga pembaca merasa terbuai oleh problema psikologis kisahan yang kadang kala dirinya terlibat dalam cerita.[4]


Karya sastra—dalam hal ini puisi—berkaitan erat dengan latar belakang kehidupan, emosi, dan pemikiran pengarang. Alur yang terkesan transenden dan abnormal adalah pemenuhan keinginan yang dibangun oleh pengarang sekaligus cermin kepribadian yang tersimpan dalam pikiran bawah sadar.
Selain sebagai karya sastra, puisi juga memiliki nilai kuratif dalam bidang psikoterapi. Terapi ini lebih dikenal dengan poetry therapy atau terapi puisi. Berbeda dengan kajian sastra, puisi sebagai terapi tidak menuntut klien memahami simbol, diksi, dan orisinalitas, tetapi menekankan pada penjiwaan personal dalam berekspresi; seperti mengungkapkan emosi, perasaan, dan ide.
Kebebasan berekspresi dalam terapi puisi tidak menghalangi perasaan dalam alam bawah sadar. Konselor dapat menggunakan terapi puisi dengan menanamkan nilai-nilai moral, keberanian, kesopanan, kemuliaan, hiburan, motivasi, dan pesan lainnya yang terselubung.[5] Sastra sebagai cerminan kepribadian mempunyai cermin perilaku baik, sebab ada hubungan antara alam semesta dengan seniman dan alam semesta dengan karya seni. Ben Johnson menyatakan bahwa seorang penyair merupakan panutan perilaku baik yang kelak akan menyebarkan ajaran-ajaran moral sehingga seorang penyair bijak seyogyanya menjadi orang baik dahulu.[6]
Nicholas Mazza mendefinisikan terapi puisi adalah “the use of the language arts in theraupetic capacities”.[7] Lebih lanjut, ia mengembangkan model terapi puisi menjadi tiga komponen, yaitu:
·         Komponen reseptif/perspektif, termasuk memperkenalkan karya sastra dalam klinis atau aktivitas kelompok.
·         Komponen ekspresif/kreatif, termasuk penggunaan tulisan oleh klien dalam klinis atau aktivitas kelompok.
·         Komponen simbolik/seremonial, termasuk penggunaan metafora, ritual, dan mendongeng dalam klinis atau aktivitas kelompok.[8]
Penggunaan terapi ini bisa dilakukan dengan memberikan kebebasan kepada klien untuk menulis dan membaca puisi, baik dalam terapi individu maupun terapi kelompok.


Baru menulis sedikit, saya belum bisa meneruskan. Maaf, maaf.


[1]Nyoman Kutha Ratna, Stilistika: Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 96.
[2]Ruth Berry, Freud: Seri Siapa Dia, trans. Frans Kowa, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2001),  hal. 104.
[3]Abdul Wachid B.S., Proses Kreatif Puisi: “Jalan Spiritual”, “Jalan Bahasa”, Creative Writing, (Purwokerto: Penerbit Stain Press, 2013),  hal. 3.
[4]Albertine Minderop, Psikologi Sastra: Karya Sastra Metode, Teori, dan Contoh Kasus, (Jakarta: Pustaka Obor, 2013),  hal. 55.
[5]Ben Wilson, “Using Poetry in Psychotherapy”, dimuat di International Journal of Scholarly Academic Intellectual Diversity, Vol. 12 Nomor 1, 2010, hal. 2.
[6] Albertine Minderop, Psikologi Sastra, …….,  hal. 63.
[7]Kathleen Connolly Baker dan Nicholas Mazza, “The Healing Power of Writing: Applying the Expressive/Creative Component of Poetry Therapy”, dimuat di Journal of Poetry Therapy, Vol. 17, Nomor 3, 2004, hal. 143.
[8]Kathleen Connolly Baker dan Nicholas Mazza, “The Healing Power of Writing: Applying the Expressive/Creative Component of Poetry Therapy”,……., hal. 144.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar