Puisi bagi orang awam sering disebut juga karya fiksi
atau hasil dari imajinasi pengarangnya. Padahal, proses kreatif sebuah puisi adalah
manifestasi pengarang dari kecemasan yang ada di pikiran bawah sadar. Puisi, baik bercerita tentang kehidupan
sosial maupun transendental, pada hakikatnya merupakan cara yang ampuh untuk mengurangi
kegelisahan.
Proses kreatif melalui jalan psike yang
diejawantahkan menjadi puisi memiliki makna yang tidak bisa dipandang dari
sudut bahasa saja. Menurut Ratna: faktor psikologis melahirkan unsur sikap
untuk berekspresi, dengan ciri-ciri subjektif imajinatif.[1]
Jalan jiwa ini diidentikkan bahwa pengarang akan menulis ketika berada di tempat
yang sunyi. Freud menyatakan: Penulis sebenarnya membiarkan dirinya sendiri
untuk hidup di dalam dunia khayal mereka, sehingga efektif menyibak prinsip
realitas, lalu menggunakan fantasi mereka secara kreatif.[2]
Meskipun pendapat ini ditentang oleh banyak kalangan, disisi lain pun banyak
orang yang melakukan hal seperti itu.
Abdul Wachid B.S. menyebut proses kreatif
ini dengan jalan spiritual, yaitu: Penyair hanya bertugas sebagai pelaksana
dari suara ruh. Sementara itu, ruh memerlukan badan, yakni bahasa, dan
karenanya suara ruh itu meminta bahasa agar dapat meruang dan mewaktu.[3]
Suara ruh ini yang menyebabkan kurangnya kegelisahan setelah pengarang
menuangkan ke dalam bentuk tulisan.
Puisi sebagai bagian dari karya sastra memiliki
hubungan erat dengan aspek psikologis, atau lebih dikenal dengan psikologi
sastra. Psikologi sastra berfungsi untuk memahami karya sastra dari sisi emosi
pengarang dan karyanya. Albertine Minderop menyatakan bahwa psikologi sastra
dipengaruhi oleh beberapa hal:
Pertama, karya sastra merupakan kreasi dari suatu proses kejiwaan dan
pemikiran pengarang yang berada pada situasi setengah sadar (subconscious) yang
selanjutnya dituangkan ke dalam bentuk conscious. Kedua, telaah
psikologi sastra adalah kajian yang menelaah cerminan psikologis dalam diri
para tokoh yang disajikan sedemikian rupa oleh pengarang sehingga pembaca
merasa terbuai oleh problema psikologis kisahan yang kadang kala dirinya
terlibat dalam cerita.[4]
Karya sastra—dalam hal ini puisi—berkaitan erat
dengan latar belakang kehidupan, emosi, dan pemikiran pengarang. Alur yang terkesan
transenden dan abnormal adalah pemenuhan keinginan yang dibangun oleh pengarang
sekaligus cermin kepribadian yang tersimpan dalam pikiran bawah sadar.
Selain sebagai karya sastra, puisi juga
memiliki nilai kuratif dalam bidang psikoterapi. Terapi ini lebih dikenal
dengan poetry therapy atau terapi puisi. Berbeda dengan kajian sastra,
puisi sebagai terapi tidak menuntut klien memahami simbol, diksi, dan
orisinalitas, tetapi menekankan pada penjiwaan personal dalam berekspresi;
seperti mengungkapkan emosi, perasaan, dan ide.
Kebebasan berekspresi dalam terapi puisi tidak
menghalangi perasaan dalam alam bawah sadar. Konselor dapat menggunakan terapi
puisi dengan menanamkan nilai-nilai moral, keberanian, kesopanan, kemuliaan,
hiburan, motivasi, dan pesan lainnya yang terselubung.[5]
Sastra sebagai cerminan kepribadian mempunyai cermin perilaku baik, sebab ada
hubungan antara alam semesta dengan seniman dan alam semesta dengan karya seni.
Ben Johnson menyatakan bahwa seorang penyair merupakan panutan perilaku baik
yang kelak akan menyebarkan ajaran-ajaran moral sehingga seorang penyair bijak
seyogyanya menjadi orang baik dahulu.[6]
Nicholas Mazza mendefinisikan terapi puisi
adalah “the use of the language arts in theraupetic capacities”.[7]
Lebih
lanjut, ia mengembangkan model terapi puisi menjadi tiga komponen, yaitu:
·
Komponen reseptif/perspektif, termasuk memperkenalkan
karya sastra dalam klinis atau aktivitas kelompok.
·
Komponen ekspresif/kreatif, termasuk
penggunaan tulisan oleh klien dalam klinis atau aktivitas kelompok.
·
Komponen simbolik/seremonial, termasuk penggunaan
metafora, ritual, dan mendongeng dalam klinis atau aktivitas kelompok.[8]
Penggunaan terapi ini bisa dilakukan dengan
memberikan kebebasan kepada klien untuk menulis dan membaca puisi, baik dalam
terapi individu maupun terapi kelompok.
Baru menulis sedikit, saya belum bisa meneruskan. Maaf, maaf.
[1]Nyoman Kutha Ratna, Stilistika: Kajian Puitika
Bahasa, Sastra, dan Budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 96.
[2]Ruth Berry, Freud: Seri Siapa Dia, trans. Frans Kowa, (Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2001), hal. 104.
[3]Abdul Wachid B.S., Proses Kreatif Puisi: “Jalan Spiritual”, “Jalan
Bahasa”, Creative Writing, (Purwokerto: Penerbit Stain Press,
2013), hal. 3.
[4]Albertine Minderop, Psikologi Sastra: Karya Sastra Metode, Teori, dan
Contoh Kasus, (Jakarta: Pustaka Obor, 2013), hal. 55.
[5]Ben Wilson, “Using Poetry in Psychotherapy”, dimuat di International
Journal of Scholarly Academic Intellectual Diversity, Vol. 12 Nomor 1,
2010, hal. 2.
[7]Kathleen Connolly Baker dan Nicholas Mazza, “The Healing Power of
Writing: Applying the Expressive/Creative Component of Poetry Therapy”,
dimuat di Journal of Poetry Therapy, Vol. 17, Nomor 3, 2004, hal. 143.
[8]Kathleen Connolly Baker dan Nicholas Mazza, “The Healing Power of
Writing: Applying the Expressive/Creative Component of Poetry Therapy”,……., hal.
144.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar