DIARY FARIKHA
JOURNAL OF SOLITUDE
Solitude is my idea, to meet God
Selasa, 03 Januari 2017
SQ: Hakikat Sastra Pesantren
SQ: Hakikat Sastra Pesantren
Farikhatul ‘Ubudiyah
Pada beberapa waktu lalu, IAIN Purwokerto mengadakan sebuah seminar bertajuk Revitalisasi Sastra Santri yang salah satu narasumbernya Acep Zamzam Noor. Dari pembicaraannya, saya mengambil kesimpulan dasar bahwa ‘menulis itu hidayah. Hidayah adalah unta yang terlepas di padang pasir’. Cukup membuat saya memiliki bayangan betapa susahnya mencari unta itu. Jika tidak tahu area, maka mendekati mustahil kita menemukannya. Namun hidayah itu urusan Allah yang akan menunjukkan. Sementara santri adalah karakter.
Meski selama ini sudah bertebaran sastra bergenre religi, masih saja banyak istilah untuk menyebutkannya. Misalnya, sastra Islam, sastra profetik, sastra ibadah, sastra sufistik, juga sastra pesantren. Di Indonesia sendiri, perkembangan sastra memang dimulai dari genre tersebut. Masuknya Islam di Nusantara membawa budaya sastra. Budaya kesusastraan Melayu berasal dari sastra Arab-Islam. Hal ini dapat dilihat dari masuknya karya-karya sastra Arab yang bernuansa sufistik, antara lain Kasidah Burdah, Kasidah Barzanjy, dan Kasidah Diba’i. Sampai sekarang, ketiga puisi Arab klasik itu masih terus menggema di masyarakat sebagai pujian kepada Nabi Muhammad saw.
Keberadaan sastra pesantren tidak lepas dari tradisi keilmuan Islam yang masuk di Nusantara pada abad ke-13 Masehi. Pada saat itu, tasawuf adalah orientasi yang menentukan corak keilmuan dan watak tradisi keilmuan di pesantren. Di Jawa, peran pesantren tidak lepas dari syi’ar Wali Songo pada abad ke-15-16 Masehi dengan karya syi’irnya. Pada perkembangannya, abad ke-16-17 Masehi ditandai munculnya paham tasawuf yang dikembangkan oleh seorang ulama Aceh, Hamzah Fansuri. Namun dalam tulisan ini saya tidak akan menyoal sejarah pesantren yang sekarang tumbuh subur di Indonesia.
Saya meyakini bahwa santri bukan hanya orang yang tinggal di pondok pesantren, melainkan semua orang yang mendalami agama Islam. Sifat kesantrian akan melekat pada orang yang memberi makna terhadap hidup. Barangkali inilah yang dimaksud “hidayah” oleh Acep Zamzam Noor. Namun bagaimana dengan makna sastra pesantren? Bisa dibilang, sastra yang tumbuh di pesantren dengan berbagai nuansa tasawuf dan ke-Islaman-nya, atau sastra yang dibuat oleh civitas pesantren.
Kajian di pesantren pun bercorak sastra. Selain kitab kuning yang lekat dengan utawi iki iku-nya (Pesantren di Jawa), juga nadhom dalam beberapa kitab yang berfungsi sebagai penyampaian makna dan seni berbahasa. Namun sastra pesantren tidak hanya sebatas kitab-kitab berbahasa Arab dengan berbagai kaidahnya. Misalnya, nama Zaid yang senantiasa disebut-sebut dalam matan dan nadhom di ilmu nahwu dan shorof lebih dari sekedar nama orang, tetapi bermakna doa kepada santri. Selain itu, perkembangan sastra pun harus diiringi dengan penciptaan karya yang lebih modern (meskipun tidak semua pesantren mendukung kegiatan penulisan sastra bagi santrinya).
Kembali kepada pemaknaan “hidayah” di atas, sastra adalah budi baik yang disampaikan pengarang. Sebagaimana teori Plato, suatu karya seni yang mengandung keindahan dan bermutu bila karya tersebut mampu mencerminkan ajaran moral. Bahkan, Ben Wilson dan Ben Johnson mengungkapkan bahwa dengan puisi, penyair bisa menanamkan nilai-nilai moral, keberanian, kesopanan, kemuliaan, hiburan, motivasi, dan perilaku baik lainnya. Cerminan perilaku baik inilah yang bisa dikembangkan dalam bahasan karya sastra pesantren.
Saya teringat pada Danah Zohar dan Ian Marshal yang banyak mengutip puisi-puisi spiritual dalam buku SQ. SQ (Spiritual Quotient) memungkinkan manusia menjadi kreatif, mengubah aturan dan situasi, memberi kemampuan membedakan, memberi rasa moral, juga kemampuan menyesuaikan aturan yang kaku. SQ berhubungan dengan ihwal baik dan jahat, serta untuk membayangkan kemungkinan yang belum terwujud—untuk bermimpi, bercita-cita, dan mengangkat diri dari kerendahan. Inilah, yang menurut saya menjadi gagasan tema-tema yang diketengahkan pada sastra pesantren.
Salah satu puisi yang dikutip Zohar dan Marshal adalah puisi yang diungkapkan sufi besar abad ketiga belas, Ibn Al-‘Arabi dalam The Tarjuman Al-Asywaq:
Hatiku mampu menerima setiap bentuk: ia adalah hamparan
padang rumput bagi rusa dan biara untuk pendeta Kristen,
Dan kuil bagi berhala dan Ka’bah bagi para haji
dan lembaran Taurat serta kitab Al-Qur’an.
Aku menganut agama Cinta: jalan mana pun yang diambil oleh unta-
unta Cinta, itulah agama dan keyakinanku.
Pemaknaan spiritual dalam puisi di atas tidak melulu soal agama tertentu, tetapi keadaan batin pengarang. Kepercayaan dan pemaknaan hiduplah yang membuat puisi tidak hanya menawarkan susunan bahasa, simbol, metafora, ataupun stilistika lainnya, tetapi ada ruh yang membuat ketengangan batin pengarang dan pembaca. Selain itu, ketika orang telah tersentuh batinnya pada spiritualitas, dia akan lebih toleran kepada orang lain.
Kuntowijoyo dalam maklumat sastra profetik dengan jelas mengatakan bahwa sastra yang disebutnya dengan “sastra ibadah” memiliki kaidah epistemologi strukturalisme transendental, sastra sebagai ibadah, dan keterkaitan antar kesadaran. Dari Tuhan ke manusia adalah suatu keterkaitan. Kesadaran ketuhanan harus mempunyai kontinum kesadaran kemanusiaan, dan sebaliknya. Misalnya, dalam puisi Makrifat Daun Daun Makrifat, Kuntowijoyo menulis bait puisinya dalam 7 bagian. Setiap bagian ada dua bait, dimana bait pertama adalah terjemahan bait al-Barzanji. Berikut puisi Makrifat Daun Daun Makrifat 1.7:
Ya, Allah. Taburkanlah wangian
di kubur Tercinta yang mulia
dengan semerbak salawat
dan salam sejahtera
aku ingin
jadi pencuri
yang lupa menutup jendela
ketika menyelinap
ke rumah Tuhan
dan tertangkap
Spiritualitas dan keinginan bertemu dengan Tuhan adalah nuansa yang senantiasa dibangun dalam sastra Islami. Penanaman karakter (baik) menjadi tujuan dibangkitkannya sastra. Sebab dengan sastra, keseimbangan kehidupan menjadi ada. Maksudnya, sastra membuat hati atau ruhani kita menjadi lembut. Sebaliknya, hidup tanpa sastra akan terasa kering dan kasar. Di era mass media dan social media ini, sastra pun tumbuh subur dari beragam genre.
Lantas, pada sastra pesantren saya tidak hanya menemukan makna kehidupan akhirat, tetapi juga nilai sosiokultural. Tidak melulu air mata yang berakar dari pengakuan dosa, tetapi juga humanisme serta politik. Tidak hanya doa-doa yang dipamerkan, tetapi juga eksplorasi tradisi di daerah penulis. Bukankah dinamika sastra pesantren berhulu pada sastra Agung, yaitu Al-Qur’an?
Daftar Pustaka
Kuntowijoyo. Maklumat Sastra Profetik: Kaidah, Etika & Struktur. Yogyakarta: Multi Presindo, 2013.
Manshur, Fadlil Munawwar. Perkembangan Sastra Arab dan Teori Sasra Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.
Minderop, Albertine. Psikologi Sastra: Karya Sastra Metode, Teori, dan Contoh Kasus. Jakarta: Pustaka Obor, 2013.
Wilson, Ben. “Using Poetry in Psychotherapy”, dimuat di International Journal of Scholarly Academic Intellectual Diversity, Vol. 12 Nomor 1, 2010.
Zohar, Danah & Ian Marshal. SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralitik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan. Terj. Rahmani Astuti, Ahmad Nadjib Burhani, Ahmad Baiquni. Bandung: Al Mizan: 2001.
Esai ini termktub dalam antologi esai,
Roqib, Muhammad., dkk. Revitalisasi Sastra Pesantren. Purwokerto: Pesma An Najah Press, 2016.
Jumat, 30 Desember 2016
GANGGUAN JIWA MANUSIA MODERN
GANGGUAN JIWA MANUSIA MODERN
Farikhatul ‘Ubudiyah
Nadia kecil merengek kepada seorang penderes kelapa untuk dicarikan bambung sebagai jagoan bertarung. Kawannya yang lain bersorak adu bambung semacam film Doraemon berjudul Nobita and the Island of Miracles. Sebuah permainan yang tidak pernah saya lakukan bahkan sewaktu kecil. Keesokan harinya, Nadia membawa kawan bermainnya membuat dolanan gulali di kebun. Lilin nyala. Sesendok gula dipanaskan di liuk api. Sesekali mereka bertengkar, ingin bergantian. Tangan-tangan kecilnya menangkup agar lilin terlindung dari angin. Lusa, mereka mendapat dua pelepah pinang. Dua pasang kawan berlawan balap membawa seorang yang duduk di pelepah. Meraka berlari, menyeret yang lain. Menyerempet daun-daun kering di jalan lurung. Lainnya, dibalut tawa yang tiada henti-hentinya. Saya hanya bisa melihat mereka dari jendela rumah induk semang saat KKN di Banyumas. Sebuah paradoks waktu, yang baru reda mempermasalahkan Pokemon Go.
Kali ini saya tidak ingin mengabsen dolanan tradisional atau aplikasi game. Sebab saya sedang teringat pada futurolog John Naisbit tentang hi-touch low-tech, hi-tech low-touch. Sepertinya prediksi masa depan darinya telah terjawab di era ini. Sebuah pesan yang ditujukan pada perilaku masyarakat kapitalis-modern yang makin mengabaikan sentuhan dan pemaknaan hidup, sementara prestasi ilmiah dan produk teknologi semakin canggih. Orang-orang berorientasi pada tingkat kualitas teknologi dan kepemilikan sebagai ukuran sukses. Lupa cara bagaimana bahagia atas kehidupan yang dimilikinya. Idealnya memang hi-tech hi-touch. Teknologi yang modern dan sentuhan spiritual yang tinggi. Sialnya jika mindset kita terus-terusan menjadi follower bangsa lain, konsep itu berubah low-tech low-touch. Hidupnya hanya mementingkan id sendiri—meminjam bahasa Freud.
Keadaan hi-tech low-touch dapat disebabkan oleh rasa having daripada being. Semacam modus gaya hidup yang dikemukakan Erich Fromm tersebut, orang yang having berorientasi pada tujuan kepemilikan terhadap sesuatu. Sehingga selalu merasa tidak cukup, kurang bersyukur, takut kehilangan, diperbudak oleh banyak keinginan, memiliki sesuatu tetapi tidak menikmati, dan I am what I have. Berbeda dengan being yang senantiasa merasa cukup terhadap apa yang dimiliki, sehingga mudah untuk bersyukur dan tercipta rasa nyaman. Bahasa lain dari itu adalah Kawruh Beja Sawetah yang mengajari kita untuk hidup sabutuhe, saperlune, secukupe, sapenake, samestine. Juga wejang Ilmu Kanthong Bolong yang mengajari kita sugih tanpa banda, digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake. Ajaran tersebut mengajak kita untuk lebih memaknai hidup daripada memiliki segala materi namun tidak menikmati.
Kembali mengingat judul esai di atas, sudah sedikit terjawab tentang gangguan jiwa manusia modern. Selain having dan hi tech-low touch, setidaknya ada lima hal yang menghinggapi mereka, yaitu kecemasan, kesepian, kebosanan, perilaku menyimpang, dan psikosomatik. Sebab pada zaman sekarang, orang menganggap orang lain adalah topeng yang penuh dengan wajah palsu. Rasa cemas hadir karena hilangnya makna hidup. Sementara makna hidup dapat diperoleh dari kejujuran hati. Bagaimana mau terhindar dari kecemasan, sedangkan wajahnya adalah topeng dan orang lain pun dianggap topeng? Karena kepalsuan itulah, manusia modern menjadi kesepian. Ia merasa sendiri di tengah keramaian. Batinnya kosong, sehingga semakin lama menimbulkan kebosanan. Ditambah lagi jika hal tersebut terus terpelihara, maka ia melakukan perilaku-perilaku aneh dan menyimpang. Akhirnya menderita psikosomatis, yaitu sakit fisik dikarenakan gangguan psikologis. Ah saya bukan memberikan justifikasi terhadap Anda yang bisa mengatasi permasalahan dengan kepala dingin. Namun nyatanya, setiap waktu kita menemukan kalimat luapan emosi di segala sosial media. Budaya diam di depan tetapi batin ngedumel menjadi terlihat jelas, bahkan seolah segala emosi perlu diketahui orang lain.
Mari kita kaji sejenak kenapa manusia modern rentan terhadap gangguan mental. Palmer dan Laungani memberikan model konseptual peredaan budaya yang menjadi sebuah kontinum, yaitu individualisme-komunalisme, kognitivisme-emosionalisme, kebebasan berkehendak-determinisme, dan materialisme-spiritualisme. Keempat konstruk teoritis ini tentu bergantung pada mentalitas masyarakat. Tidak selalu pada bangsa Barat atau Bangsa Timur. Pun, orang Timur sudah banyak yang beralih condong pada sikap individualisme, kognitivisme, free will, dan materialisme. Sikap bagian kiri ini bukan berarti tidak memiliki sikap bagian kanan. Maka kita perlu menyeimbangkan dan mampu menempatkan sikap.
Di tengah-tengah zaman yang senantiasa merancang teknologi masa depan, kita lupa merancang karakter manusia untuk menghadapinya. Sehingga siapa yang tidak siap akan tenggelam dan larut menjadi budak waktu. Kita tidak boleh menyalahkan siapapun, tetapi dari dalam diri mesti mulai membenahi. Perubahan mentalitas agraris ke mentalitas industri telah memberikan banyak manfaat sekaligus menambah manusia jadi gila. Sebab orientasi hidup telah bergeser ke having daripada being. Selain itu, hidup di tengah masyarakat global pun memberikan kepenatan. Sistem hidup yang ditandai dengan saling bergantung pada penciptaan networking ini telah memberikan banyak informasi secara cepat dan luas. Namun banyaknya informasi ini saling menumpuk, belum selesai permasalahan satu sudah beralih pada masalah lain. Setengah-setengah itu hanya memberikan kekhawatiran manusia modern yang tidak bisa mempertahankan mental sehatnya.
Agar manusia modern mampu menghadapi masa depan, maka perlu adanya konsep dasar dalam belajar. Delors (dalam Supriyatna, 2009) merancang bentuk empat pilar pendidikan, yaitu learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be. Learning to know tidak hanya menjadikan seorang mengerti tentang pengetahuan, tetapi juga mempersiapkan masa depan dengan keterampilan yang dimiliki. Learning to do artinya tidak hanya bekerja untuk mendapat upah, tetapi juga melakukan berbagai kompetensi yang dimiliki. Learning to live together mengajarkan untuk mengembangkan pamahaman tentang orang lain, sehingga dapat bersikap pluralis. Selanjutnya learning to be, yaitu mengembangkan kepribadian individu agar mandiri dan bertanggung jawab, sehingga menciptakan pribadi yang akhlaqul karimah.
Melalui pembelajaran karakter di atas, kemajuan zaman bukanlah sebuah momok bagi orang tua dan pendidik. Anak-anak masa depan bukan hanya diajari kognitif, tetapi berjiwa tangguh yang memiliki kecerdasan emosi dan spiritual. Pun, sebagai orang tua masa depan, kita (red. seusia saya) senantiasa membimbing anak-anak menjadi insan kamil.
Nadia kecil masih bermain petak umpet. Saya menyelesaikan paragraf terakhir saat smartphone menggetarkan beberapa tanda. Sambil berkali-kali meyakinkan pada diri sendiri, tentu ini sebuah kontinum. *
Daftar Bacaan
Endraswara, Suwardi. 2013. Ilmu Jiwa Jawa. Yogyakarta: Narasi.
Hidayat, Komarudin. 2007. Psikologi Beragama. Jakarta: Hikmah.
_______. Penjara-penjara Kehidupan. Noura Book Publishing.
Rochman, Cholil Lur. 2013. Kesehatan Mental. Purwokerto: STAINPress.
Supriatna, Mamat. 2009. Bimbingan dan Konseling Lintas Budaya. Materi PLPG Sertifikasi Guru.
Esai ini termaktub dalam Indonesia dan Teknologi: Antara Masarakat Primitif atau Progresif, ObsesiPress, 2016.
Kamis, 29 Desember 2016
Jalan PEKSIMIDA ke PEKSIMINAS XIII 2016
Boleh dong, sebelum akhir tahun saya merangkum perjalanan selama 2016?
Tahun ini begitu luar biasa bagi saya. Saya pernah berharap bisa pergi dari pulau Jawa, terkabul dengan ikut PEKSIMINAS XIII di Kendari. Mendapatkan juara 2 saat itu adalah anugerah dan rizki tak terduga buat saya.
Allah Maha Luar Biasa.
Mari, ikut saya mengenang perjalanan berangkat PEKSIMINAS XIII. Pertama saya ikut PEKSIMIDA Jawa Tengah yang dilaksanakan di Universitas Muria Kudus. Alhamdulillah, tidak terduga menjadi juara pertama.
Awalnya niat saya ingin jalan-jalan. Memang, sehari sebelum lomba, saya diajak ziarah ke dua makam dua wali di Kudus, yaitu Sunan Kudus dan Sunan Muria.
Foto ini diambil sehabis mandi. Healaaah, perlu kamu ngerti juga, jarak antara Purwokerto ke Kudus membutuhkan waktu lima jam. Berangkat jam dua belas dan sampai jam lima subuh. Sepanjang jalan di Tulungagung saya muntah beberapa kali. Tentu saja sehabis mandi saya merasa segar, bukan? Nah sebelum masuk mobil, bolehlah, foto dengan latar menara Kudus.
Esok harinya, saya lomba menulis puisi. Ketentuannya, tema ditentukan mendadak, menulis di tempat yang disediakan, dengan waktu 8 jam. Ini berat buat saya. Saat peserta lain sibuk dengan layar laptop, saya sibuk makan. Beberapa kali juga keluar ruangan, duduk glasahan, dan charger laptop saya yang tidak bisa dipakai sama sekali. Padahal saya sedang ending. Tidak ada lagi peserta yang merk laptopnya sama. Seorang peserta lain, sebut saja namanya Warih Budi Prasetya, membantu saya memegangi titik putusnya kabel charger sampai saya tuntas. Dia bilang begini ke saya; "Kayaknya kamu yang jadi juara 1. Soalnya chargernya bermasalah." Prediksi macam apa ini? Saat itu saya ketawa. Dan prediksinya dia benar.
Setelah PEKSIMIDA, hari-hariku malah buntu saat menulis puisi. Semua yang tertulis lahir sebagai puisi jelek. Saya lebih fokus pada kuliah dan KKN.
Mendekati berangkat ke Kendari, saya merasa galau. Saya lebih banyak jalanjalan juga membaca puisi penyair lain.
Kendari, 11 Oktober 2016. Perjalanan sejak Subuh sampai Magrib. Lewat doa yang dititipkan pada semua tangkup tangan. Stasiun Purwokerto - Stasiun Purwosari - Bandara Adisumarmo - Bandara Soekarno Hatta - Bandara Juanda - Bandara Halu Oleo. Seumur hidup saya, inilah pertama kali melakukan perjalanan jauh.
Pada malam pembukaan, rasa bangga saya meluap. Bertemu mahasiswa se-indonesia, melihat tiap daerah menyajikan busana adatnya.
Tahun ini begitu luar biasa bagi saya. Saya pernah berharap bisa pergi dari pulau Jawa, terkabul dengan ikut PEKSIMINAS XIII di Kendari. Mendapatkan juara 2 saat itu adalah anugerah dan rizki tak terduga buat saya.
Allah Maha Luar Biasa.
Mari, ikut saya mengenang perjalanan berangkat PEKSIMINAS XIII. Pertama saya ikut PEKSIMIDA Jawa Tengah yang dilaksanakan di Universitas Muria Kudus. Alhamdulillah, tidak terduga menjadi juara pertama.
Awalnya niat saya ingin jalan-jalan. Memang, sehari sebelum lomba, saya diajak ziarah ke dua makam dua wali di Kudus, yaitu Sunan Kudus dan Sunan Muria.
Foto ini diambil sehabis mandi. Healaaah, perlu kamu ngerti juga, jarak antara Purwokerto ke Kudus membutuhkan waktu lima jam. Berangkat jam dua belas dan sampai jam lima subuh. Sepanjang jalan di Tulungagung saya muntah beberapa kali. Tentu saja sehabis mandi saya merasa segar, bukan? Nah sebelum masuk mobil, bolehlah, foto dengan latar menara Kudus.
Esok harinya, saya lomba menulis puisi. Ketentuannya, tema ditentukan mendadak, menulis di tempat yang disediakan, dengan waktu 8 jam. Ini berat buat saya. Saat peserta lain sibuk dengan layar laptop, saya sibuk makan. Beberapa kali juga keluar ruangan, duduk glasahan, dan charger laptop saya yang tidak bisa dipakai sama sekali. Padahal saya sedang ending. Tidak ada lagi peserta yang merk laptopnya sama. Seorang peserta lain, sebut saja namanya Warih Budi Prasetya, membantu saya memegangi titik putusnya kabel charger sampai saya tuntas. Dia bilang begini ke saya; "Kayaknya kamu yang jadi juara 1. Soalnya chargernya bermasalah." Prediksi macam apa ini? Saat itu saya ketawa. Dan prediksinya dia benar.
Setelah PEKSIMIDA, hari-hariku malah buntu saat menulis puisi. Semua yang tertulis lahir sebagai puisi jelek. Saya lebih fokus pada kuliah dan KKN.
Mendekati berangkat ke Kendari, saya merasa galau. Saya lebih banyak jalanjalan juga membaca puisi penyair lain.
Kendari, 11 Oktober 2016. Perjalanan sejak Subuh sampai Magrib. Lewat doa yang dititipkan pada semua tangkup tangan. Stasiun Purwokerto - Stasiun Purwosari - Bandara Adisumarmo - Bandara Soekarno Hatta - Bandara Juanda - Bandara Halu Oleo. Seumur hidup saya, inilah pertama kali melakukan perjalanan jauh.
Pada malam pembukaan, rasa bangga saya meluap. Bertemu mahasiswa se-indonesia, melihat tiap daerah menyajikan busana adatnya.
Juara 2 PEKSIMINAS XIII 2016 Tangkai Penulisan Puisi
RISALAH PEREMPUAN KEPADA TELUK KENDARI
Telah kutitipkan doa kepada laikas sebelum keluk tubuhmu
memeluk bandar yang menyisakan lampu perahu
Aroma anyir dari sekujur tubir mengisahkan
bendera-bendera lusuh dan gelisah sepanjang malam
Buritan perahumu menukik pada tanah yang tidak lagi basah
Sebab orang-orang telah datang membawa burit tubuhnya
Ke desir yang mendebur di dada masing-masing
Mereka menggelinjang serupa ikan terbaring di pangkuanmu
Bersembunyi lewat tingkap rumah megah
Di tepi akar bakau
Akulah perempuan yang menunggu pagi di laikas
Lekas melepas air panas ke tepung sagu
Ditumpah kuah ikan tangkapan semalam berbau sambal
Dan perasan limau yang pohonnya menyembunyikan perih batinku.
Ini, kutanam sinonggi lewat potongan lidah
Sebagai tangga waktu menuju ibadah
Pun sudah kususuri sungai Wanggu yang mengalir ragu
Perutmu dijerat lapar dan pertemuan tidak luput dari uang
Ada yang telanjang di kolong jembatan bila sepi dari tawar-menawar
Tinggallah asap bakaran sampah dan desah kota yang resah
Lewat ujung hidungmu tercium darah perawan
Mengalir ke saput ranjang dan maut menguntit pelan-pelan
Di tangga ketiga laikas, izinkan aku menangisi nasibmu
Pohon sagu hanya pertanda mengapa teluk airnya termangu
trotoar malam merayakan kerlip di jantung orang-orang
mengecupkan angin ke bibir nyonya kedai
Sebagai tanda hidupmu baru dimulai
Kendari, 14 Oktober 2016
Telah kutitipkan doa kepada laikas sebelum keluk tubuhmu
memeluk bandar yang menyisakan lampu perahu
Aroma anyir dari sekujur tubir mengisahkan
bendera-bendera lusuh dan gelisah sepanjang malam
Buritan perahumu menukik pada tanah yang tidak lagi basah
Sebab orang-orang telah datang membawa burit tubuhnya
Ke desir yang mendebur di dada masing-masing
Mereka menggelinjang serupa ikan terbaring di pangkuanmu
Bersembunyi lewat tingkap rumah megah
Di tepi akar bakau
Akulah perempuan yang menunggu pagi di laikas
Lekas melepas air panas ke tepung sagu
Ditumpah kuah ikan tangkapan semalam berbau sambal
Dan perasan limau yang pohonnya menyembunyikan perih batinku.
Ini, kutanam sinonggi lewat potongan lidah
Sebagai tangga waktu menuju ibadah
Pun sudah kususuri sungai Wanggu yang mengalir ragu
Perutmu dijerat lapar dan pertemuan tidak luput dari uang
Ada yang telanjang di kolong jembatan bila sepi dari tawar-menawar
Tinggallah asap bakaran sampah dan desah kota yang resah
Lewat ujung hidungmu tercium darah perawan
Mengalir ke saput ranjang dan maut menguntit pelan-pelan
Di tangga ketiga laikas, izinkan aku menangisi nasibmu
Pohon sagu hanya pertanda mengapa teluk airnya termangu
trotoar malam merayakan kerlip di jantung orang-orang
mengecupkan angin ke bibir nyonya kedai
Sebagai tanda hidupmu baru dimulai
Kendari, 14 Oktober 2016
Puisi Juara 1 PEKSIMIDA XIII Jawa Tengah 2016
SURAT SURADENTA KEPADA SURATANI
/ Aku menyambut kedatanganmu
Bertahun-tahun kita tanam kesetiaan pada batin pasangan pengantin
Telah kujaga perempuan bersanggul ronce melati
Masuklah, Suratani. Tentu keluarga menerima lelaki yang kau antar
Ke jalan berhias umbul mayang untuk memulai kasih sayang
Akulah Suradenta, perempuan penerima hantaran besan
Mengulurkan tangan kepadamu sebelum waktu menggetarkan janji paling alastu
Terus saja kau ajukan pertanyaan yang jawabannya sudah bisa kuterka
Di nyalang mataku berisi brenong kepang (kita mengenalkan gerabah yang tidak bisa diubah
Kau mengira berapa jumlah anyaman saling tindih, dan batok kelapa berpaut sepatah kayu
: sebagai bekal membangun sudut dapur)
Apa yang kau bawa bersama rombonganmu akan kami terima
Tetapi periksalah bahumu kembali, barangkali ada yang tertinggal di sebuah persinggahan
Termasuk pesan dan kebahagiaan.
Suratani, suratan memang telah tergurat di langit yang menyimpan buku-buku takdir
Kita menerka tentang aksara sebagai pertanda
Lalu merawat ruwatan biar nasib perjodohan tidak ada habisnya mendatangkan sabda
Senang, Suratani. Aku senang menerima hantaran
Memunguti satu persatu barang bawaanmu
Menandu rindu pengantin yang belum selesai menadahkan amin
Lupa. Ah aku melupakan jumlah anak dalam tiap dua keluarga
Mestinya kita tidak menerka berapa si sulung berapa si bungsu
Toh, banyolan kita yang ranum tetap laku.
Katamu, “Hai Suradenta.
Ini bukan lelucon yang mau menasihati siapapun!”
/ Rekaguna diserbu warga
Apa salah Gunareka, Suratani?
Pada hitam bajunya menyimpan segudang bekal hidup sampai mati
Halaman rumah tidak terlalu rimba untuk dilewati
Sepikul harga diri telah dijunjung tinggi, berisi ilir semilir dari segala penjuru.
Setangkup kusan yang bisa telungkup dan telentang bersedia menanak peristiwa
Masih kau bertanya tentang cething yang begitu menerima?
Demikianlah selembar tampah telah menampi sepi dan makna
Cekung siwur senantiasa utuh dan tidak menabur takabur
Sebab hidup perlu dicurah pada kalo agar laku memilih adab atau biadab
Cobek beserta anaknya ikut serta, menghaluskan bumbu dari gerus kehormatan
Sebilah irus dalam buai tangan perempuan mengurus banyak peluk dan ciuman
Ayunan tangkai centong lebih memilih untuk menjamah nasi
Dari seikat padi yang tiada habis-habisnya ditumbuk setiap habis subuh
Sebab rezeki bukanlah kesunyian Gusti Pangeran.
Aih. Sialan!
Segalanya lenyap dihadang pedang wlira. Gunareka berlari kemana?
Gerabah-gerabah berserapah.
Rekaguna—pembegal dengan parang melintang dan mengancam
Dikejar massa.
/ Kita telah membegal waktu
Pukullah bambu calung sekarang! Serupa titir yang memelintir bahaya
Aku menyaksikan orang-orang membegal Rekaguna
Mengajariku bagaimana merampok dari perampok
Tidak ada hubungannya antara usia orang dengan banyaknya barang yang direbut
Ah Suratani, akulah Suradenta
Perempuan berselendang gurau yang menari-nari sebelum pergi
Semoga brenong kepang bukan hanya barang rebutan
Sebab orang-orang telah memilih bumbu instan.
UMK, 28/07/2016
/ Aku menyambut kedatanganmu
Bertahun-tahun kita tanam kesetiaan pada batin pasangan pengantin
Telah kujaga perempuan bersanggul ronce melati
Masuklah, Suratani. Tentu keluarga menerima lelaki yang kau antar
Ke jalan berhias umbul mayang untuk memulai kasih sayang
Akulah Suradenta, perempuan penerima hantaran besan
Mengulurkan tangan kepadamu sebelum waktu menggetarkan janji paling alastu
Terus saja kau ajukan pertanyaan yang jawabannya sudah bisa kuterka
Di nyalang mataku berisi brenong kepang (kita mengenalkan gerabah yang tidak bisa diubah
Kau mengira berapa jumlah anyaman saling tindih, dan batok kelapa berpaut sepatah kayu
: sebagai bekal membangun sudut dapur)
Apa yang kau bawa bersama rombonganmu akan kami terima
Tetapi periksalah bahumu kembali, barangkali ada yang tertinggal di sebuah persinggahan
Termasuk pesan dan kebahagiaan.
Suratani, suratan memang telah tergurat di langit yang menyimpan buku-buku takdir
Kita menerka tentang aksara sebagai pertanda
Lalu merawat ruwatan biar nasib perjodohan tidak ada habisnya mendatangkan sabda
Senang, Suratani. Aku senang menerima hantaran
Memunguti satu persatu barang bawaanmu
Menandu rindu pengantin yang belum selesai menadahkan amin
Lupa. Ah aku melupakan jumlah anak dalam tiap dua keluarga
Mestinya kita tidak menerka berapa si sulung berapa si bungsu
Toh, banyolan kita yang ranum tetap laku.
Katamu, “Hai Suradenta.
Ini bukan lelucon yang mau menasihati siapapun!”
/ Rekaguna diserbu warga
Apa salah Gunareka, Suratani?
Pada hitam bajunya menyimpan segudang bekal hidup sampai mati
Halaman rumah tidak terlalu rimba untuk dilewati
Sepikul harga diri telah dijunjung tinggi, berisi ilir semilir dari segala penjuru.
Setangkup kusan yang bisa telungkup dan telentang bersedia menanak peristiwa
Masih kau bertanya tentang cething yang begitu menerima?
Demikianlah selembar tampah telah menampi sepi dan makna
Cekung siwur senantiasa utuh dan tidak menabur takabur
Sebab hidup perlu dicurah pada kalo agar laku memilih adab atau biadab
Cobek beserta anaknya ikut serta, menghaluskan bumbu dari gerus kehormatan
Sebilah irus dalam buai tangan perempuan mengurus banyak peluk dan ciuman
Ayunan tangkai centong lebih memilih untuk menjamah nasi
Dari seikat padi yang tiada habis-habisnya ditumbuk setiap habis subuh
Sebab rezeki bukanlah kesunyian Gusti Pangeran.
Aih. Sialan!
Segalanya lenyap dihadang pedang wlira. Gunareka berlari kemana?
Gerabah-gerabah berserapah.
Rekaguna—pembegal dengan parang melintang dan mengancam
Dikejar massa.
/ Kita telah membegal waktu
Pukullah bambu calung sekarang! Serupa titir yang memelintir bahaya
Aku menyaksikan orang-orang membegal Rekaguna
Mengajariku bagaimana merampok dari perampok
Tidak ada hubungannya antara usia orang dengan banyaknya barang yang direbut
Ah Suratani, akulah Suradenta
Perempuan berselendang gurau yang menari-nari sebelum pergi
Semoga brenong kepang bukan hanya barang rebutan
Sebab orang-orang telah memilih bumbu instan.
UMK, 28/07/2016
Kamis, 11 Agustus 2016
Membakar Kenangan
: catatan
buat mantan
Apa kau tidak akan
mengundangku di pesta pernikahanmu? Akan kugenapkan segala rasa untuk bahagia. Maaf aku
tidak akan datang. Ibu melarangku bermain-main jarak dan waktu. Sebab rindu
tidak bisa diterjemahkan oleh apapun.
Malam ini aku tidak ingin menangis,
aku tidak bisa menangis. Mungkin aku bahagia, meskipun kulihat wajahku di
cermin tetap terlihat kalut. Barangkali ada sisa ingatan yang
mesti ditiup angin.
1/ Kau pernah bercerita
tentang mantan pacar. Katamu, perempuan tidak bisa menunggu.
2/ Aku bosan. Kau membawakan
beberapa novel untuk kubaca.
3/ Aku tidak mengerti beberapa
perkuliahan. Kau memahamkanku dan meminjamkan buku-buku tebal.
4/ Kau … … …
5/ Selamat. Kau menikah duluan.
Aku kapan-kapan—menunggu diijodohkan.Baiklaaah..
Rabu, 13 Juli 2016
Antara “Of Mice And Man” dan “Adit dan Sopo Jarwo”


Of Mice and
Man, novel klasik karya John Steinbeck mengingatkan saya pada film animasi
Indonesia “Adit dan Sopo Jarwo”. Tentu saja ini menurut saya.
Of Mice And
Men mengisahkan perjalanan dua orang pengelana. George dan Lennie adalah
tokoh utama yang selalu bersama. George digambarkan sebagai lelaki dengan tubuh
tinggi-kecil, dan Lennie punya badaan lebih besar, jika berjalan seperti
gorila. Lennie mempunyai tenaga yang lebih dari orang biasanya. Tetapi dia
dungu, pelupa, dan kekanak-kanakan. Mimpi mereka adalah mempunyai sebuah tanah
dengan rumput-rumput hijau, dan mereka memelihara kelinci-kelinci yang nantinya
dirawat Lennie. Begitulah cerita impian mereka yang senantiasa diulang-ulang
George kepada Lennie. Saya tidak akan berkisah tentang kenapa George akhirnya
menembak Lennie setelah membunuh istri Curley.
George dan
Lennie. Jarwo dan Sopo—Adit dan Dennis. Saya melihat
ada kesamaan karakter yang dibuat. Apakah penulis skenario terinspirasi dari Of
Mice And Men-nya Steinbeck? Entahlah. Menurut saya, mereka punya
kesamaan-kesamaan. George, Adit, dan Jarwo, sama-sama berpostur tubuh yang
lebih kecil. Mereka adalah otak dari segala yang akan mereka lakukan bersama
seorang sahabatnya. Sementara Lennie, seperti yang dikarakterkan sebagai Sopo
dan Dennis, adalah sahabat yang sejati. Senantiasa dibimbing si tubuh kecil. Seringkali
mereka dungu dan bodoh. Menurut saja apa yang telah diperintahkan.
Kesimpulannya,
saya tidak mengatakan bahwa orang berpostur tubuh kecil lebih cerdas dari orang
berbadan besar.
Purwokerto, 13
July 2016
foto:
s-media-cache-ak0.pinimg.com/736x/7d/63/73/7d6373eb9504fb662821f9dbe46c30b4.jpg
www.aktual.com/wp-content/uploads/2015/08/51-11agus2015-Adit-dan-Sopo-Jarwo.jpg
Langganan:
Postingan (Atom)