JOURNAL OF SOLITUDE

Solitude is my idea, to meet God

Jumat, 30 Desember 2016

GANGGUAN JIWA MANUSIA MODERN


GANGGUAN JIWA MANUSIA MODERN
Farikhatul ‘Ubudiyah

Nadia kecil merengek kepada seorang penderes kelapa untuk dicarikan bambung sebagai jagoan bertarung. Kawannya yang lain bersorak adu bambung semacam film Doraemon berjudul Nobita and the Island of Miracles. Sebuah permainan yang tidak pernah saya lakukan bahkan sewaktu kecil. Keesokan harinya, Nadia membawa kawan bermainnya membuat dolanan gulali di kebun. Lilin nyala. Sesendok gula dipanaskan di liuk api. Sesekali mereka bertengkar, ingin bergantian. Tangan-tangan kecilnya menangkup agar lilin terlindung dari angin. Lusa, mereka mendapat dua pelepah pinang. Dua pasang kawan berlawan balap membawa seorang yang duduk di pelepah. Meraka berlari, menyeret yang lain. Menyerempet daun-daun kering di jalan lurung. Lainnya, dibalut tawa yang tiada henti-hentinya. Saya hanya bisa melihat mereka dari jendela rumah induk semang saat KKN di Banyumas. Sebuah paradoks waktu, yang baru reda mempermasalahkan Pokemon Go.
Kali ini saya tidak ingin mengabsen dolanan tradisional atau aplikasi game. Sebab saya sedang teringat pada futurolog John Naisbit tentang hi-touch low-tech, hi-tech low-touch. Sepertinya prediksi masa depan darinya telah terjawab di era ini. Sebuah pesan yang ditujukan pada perilaku masyarakat kapitalis-modern yang makin mengabaikan sentuhan dan pemaknaan hidup, sementara prestasi ilmiah dan produk teknologi semakin canggih. Orang-orang berorientasi pada tingkat kualitas teknologi dan kepemilikan sebagai ukuran sukses. Lupa cara bagaimana bahagia atas kehidupan yang dimilikinya. Idealnya memang hi-tech hi-touch. Teknologi yang modern dan sentuhan spiritual yang tinggi. Sialnya jika mindset kita terus-terusan menjadi follower bangsa lain, konsep itu berubah low-tech low-touch. Hidupnya hanya mementingkan id sendiri—meminjam bahasa Freud.
Keadaan hi-tech low-touch dapat disebabkan oleh rasa having daripada being. Semacam modus gaya hidup yang dikemukakan Erich Fromm tersebut, orang yang having berorientasi pada tujuan kepemilikan terhadap sesuatu. Sehingga selalu merasa tidak cukup, kurang bersyukur, takut kehilangan, diperbudak oleh banyak keinginan, memiliki sesuatu tetapi tidak menikmati, dan I am what I have. Berbeda dengan being yang senantiasa merasa cukup terhadap apa yang dimiliki, sehingga mudah untuk bersyukur dan tercipta rasa nyaman. Bahasa lain dari itu adalah Kawruh Beja Sawetah yang mengajari kita untuk hidup sabutuhe, saperlune, secukupe, sapenake, samestine. Juga wejang Ilmu Kanthong Bolong yang mengajari kita sugih tanpa banda, digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake. Ajaran tersebut mengajak kita untuk lebih memaknai hidup daripada memiliki segala materi namun tidak menikmati.
Kembali mengingat judul esai di atas, sudah sedikit terjawab tentang gangguan jiwa manusia modern. Selain having dan hi tech-low touch, setidaknya ada lima hal yang menghinggapi mereka, yaitu kecemasan, kesepian, kebosanan, perilaku menyimpang, dan psikosomatik. Sebab pada zaman sekarang, orang menganggap orang lain adalah topeng yang penuh dengan wajah palsu. Rasa cemas hadir karena hilangnya makna hidup. Sementara makna hidup dapat diperoleh dari kejujuran hati. Bagaimana mau terhindar dari kecemasan, sedangkan wajahnya adalah topeng dan orang lain pun dianggap topeng? Karena kepalsuan itulah, manusia modern menjadi kesepian. Ia merasa sendiri di tengah keramaian. Batinnya kosong, sehingga semakin lama menimbulkan kebosanan. Ditambah lagi jika hal tersebut terus terpelihara, maka ia melakukan perilaku-perilaku aneh dan menyimpang. Akhirnya menderita psikosomatis, yaitu sakit fisik dikarenakan gangguan psikologis. Ah saya bukan memberikan justifikasi terhadap Anda yang bisa mengatasi permasalahan dengan kepala dingin. Namun nyatanya, setiap waktu kita menemukan kalimat luapan emosi di segala sosial media. Budaya diam di depan tetapi batin ngedumel menjadi terlihat jelas, bahkan seolah segala emosi perlu diketahui orang lain.
Mari kita kaji sejenak kenapa manusia modern rentan terhadap gangguan mental. Palmer dan Laungani memberikan model konseptual peredaan budaya yang menjadi sebuah kontinum, yaitu individualisme-komunalisme, kognitivisme-emosionalisme, kebebasan berkehendak-determinisme, dan materialisme-spiritualisme. Keempat konstruk teoritis ini tentu bergantung pada mentalitas masyarakat. Tidak selalu pada bangsa Barat atau Bangsa Timur. Pun, orang Timur sudah banyak yang beralih condong pada sikap individualisme, kognitivisme, free will, dan materialisme. Sikap bagian kiri ini bukan berarti tidak memiliki sikap bagian kanan. Maka kita perlu menyeimbangkan dan mampu menempatkan sikap.
Di tengah-tengah zaman yang senantiasa merancang teknologi masa depan, kita lupa merancang karakter manusia untuk menghadapinya. Sehingga siapa yang tidak siap akan tenggelam dan larut menjadi budak waktu. Kita tidak boleh menyalahkan siapapun, tetapi dari dalam diri mesti mulai membenahi. Perubahan mentalitas agraris ke mentalitas industri telah memberikan banyak manfaat sekaligus menambah manusia jadi gila. Sebab orientasi hidup telah bergeser ke having daripada being. Selain itu, hidup di tengah masyarakat global pun memberikan kepenatan. Sistem hidup yang ditandai dengan saling bergantung pada penciptaan networking ini telah memberikan banyak informasi secara cepat dan luas. Namun banyaknya informasi ini saling menumpuk, belum selesai permasalahan satu sudah beralih pada masalah lain. Setengah-setengah itu hanya memberikan kekhawatiran manusia modern yang tidak bisa mempertahankan mental sehatnya.
Agar manusia modern mampu menghadapi masa depan, maka perlu adanya konsep dasar dalam belajar. Delors (dalam Supriyatna, 2009) merancang bentuk empat pilar pendidikan, yaitu learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be. Learning to know tidak hanya menjadikan seorang mengerti tentang pengetahuan, tetapi juga mempersiapkan masa depan dengan keterampilan yang dimiliki. Learning to do artinya tidak hanya bekerja untuk mendapat upah, tetapi juga melakukan berbagai kompetensi yang dimiliki. Learning to live together mengajarkan untuk mengembangkan pamahaman tentang orang lain, sehingga dapat bersikap pluralis. Selanjutnya learning to be, yaitu mengembangkan kepribadian individu agar mandiri dan bertanggung jawab, sehingga menciptakan pribadi yang akhlaqul karimah.
Melalui pembelajaran karakter di atas, kemajuan zaman bukanlah sebuah momok bagi orang tua dan pendidik. Anak-anak masa depan bukan hanya diajari kognitif, tetapi berjiwa tangguh yang memiliki kecerdasan emosi dan spiritual. Pun, sebagai orang tua masa depan, kita (red. seusia saya) senantiasa membimbing anak-anak menjadi insan kamil.
Nadia kecil masih bermain petak umpet. Saya menyelesaikan paragraf terakhir saat smartphone menggetarkan beberapa tanda. Sambil berkali-kali meyakinkan pada diri sendiri, tentu ini sebuah kontinum. *

Daftar Bacaan
Endraswara, Suwardi. 2013. Ilmu Jiwa Jawa. Yogyakarta: Narasi.
Hidayat, Komarudin. 2007. Psikologi Beragama. Jakarta: Hikmah.
_______. Penjara-penjara Kehidupan. Noura Book Publishing.
Rochman, Cholil Lur. 2013. Kesehatan Mental. Purwokerto: STAINPress.
Supriatna, Mamat. 2009. Bimbingan dan Konseling Lintas Budaya. Materi PLPG Sertifikasi Guru.

Esai ini termaktub dalam Indonesia dan Teknologi: Antara Masarakat Primitif atau Progresif, ObsesiPress, 2016.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar