JOURNAL OF SOLITUDE

Solitude is my idea, to meet God

Kamis, 10 September 2015

Masalah dan Kefitrahan Manusia




Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam), (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan terhadap ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak diketahui. (Ar-Rum, 30: 30)
Saya setuju bahwa fitrah manusia adalah berbuat baik. Pernahkah kamu mendengar perihal hari alastu? (7: 172). Dan apakah kamu mengingatnya? Tentu saja kita hanya harus mempercayainya. Sebuah perjanjian kokoh bahwa kita adalah makhluk Tuhan yang sempurna. Bersama kesempurnaan itulah, kita memiliki fitrah untuk menyembah Allah—tentu saja fitrah untuk berbuat baik.
Fitrah juga bisa berarti potensi. Bersama sifat asal ini, manusia cenderung baik, menolong sesama dan mendatangkan manfaat bagi orang banyak. Tetapi kenyataannya yang banyak terjadi malah sebaliknya. Jauh dari berbuat baik, berbuat kesalahan, dan sebagainya. Dari situlah kita merasa punya banyak masalah.
Berbicara soal masalah, kita pun tahu bahwa manusia memiliki jasmani dan rohani. Bila jasmaninya sehat, maka rohaninya pun akan sehat. Begitu pun sebaliknya, bila rohaninya sehat, maka jasmani pun akan sehat. Sayangnya, pada rohani kita yang terdiri dari akal, hati dan nafsu itu sering tidak termanage dengan baik.
Manusia yang telah diciptakan sempurna menjadi merasa segala yang ia miliki serba kekurangan dan ketidak puasan.  Nafsu yaitu segala keinginan, cita-cita, harapan, yang ingin kita penuhi—katanya—demi kelangsungan hidup kita. Berawal dari nafsu itu, akal memikirkan segala cara untuk mencapai berbagai keinginan. Sementara hati, bisa kita sebut sebagai pengendali dari nafsu. Baiklah, kita bisa menyetujui struktur kepribadian dari teori Sigmund Freud yang menjelaskan bahwa manusia terdiri dari id, ego, dan super ego. Id berarti nafsu, ego berarti akal, dan super ego berarti hati. (Kita telah sepakat bahwa hati mesti berbuat baik)
Setelah akal bekerja dalam pemenuhan nafsu atau keinginan kita, hasilnya hanya ada dua pilihan, yaitu berhasil dan gagal. Bukan masalah jika kita berhasil, bukan? Tentu saja menjadi masalah bila kita gagal dan tidak bisa mengatur hati menghadapi kegagalan.
Misalnya, dua orang memiliki masalah yang sama—sebut saja Ani dan Wati. Suatu hari ketika menjelang hari pernikahannya, calon suami mereka kebur dan tidak mau menikah dengannya tanpa alasan apapun. Ani pun stress. Betapa malunya Ani, sakit hati sesakit-sakitnya. Tetapi Wati telah bersikap sabar, dan mengatakan, “Wah, Allah telah menunjukkanku bahwa dia bukanlah jodohku yang baik, dan masih banyak laki-laki selain dia.” Lalu apa itu masalah? Apa yang beda dari Ani dan Wati jika masalah mereka adalah diputuskan oleh calon suaminya?
Yap. Sudut pandang kita terhadap suatu keadaan yang tidak sesuai dengan harapan. Kita sering menganggap teknologi dan teori pengetahuan bisa menyelesaikan masalah. Berbagai kegiatan pengentasan masalah masih sering dilihat dari aspek fakta empiris dan pemikiran manusia. Padahal ada sesuatu yang mesti kita ingat, bahwa ketika kita punya masalah, maka tanyakanlah kepada Pencipta kita. Dzat Yang Maha Menciptakan.
Suatu hari, datanglah seorang laki-laki kepada tukang jahit untuk memesan jas yang akan digunakan ketika ia menjadi pengantin. Ia menentukan hari sampai jas itu bisa diambil. Menjelang tenggat waktu jas itu diambil, malamnya si tukang jahit baru membuatnya. Sayangnya, busa untuk bantalan bahu yang mestinya ada dua, hanya tinggal sedikit dan cukup untuk satu bantalan. Penjahit pun kebingungan, karena hari telah malam. Mana ada toko peralatan jahit yang buka 24 jam non-stop? Akhirnya penjahit pun mondar-mandir memikirkan hal itu. Tiba-tiba ia melihat anaknya yang sedang tertidur dengan pulas, dan teringat dengan popok bayi anaknya. Penjahit pun tidak kehilangan akalnya, ia menggunakan popok bayi untuk bentalan jas bagian bahu. Paginya, jas itu diambil dan segera dipakai untuk melaksanakan upacara pengantin. Pertanyaannya, siapa yang mengetahui pengantin itu memanggul popok bayi di bahunya? Yap. Hanya penciptanya.
Maka bila kita punya masalah, tanyakanlah kepada Dzat Yang Maha Pencipta, karena hanya Dialah yang tahu segalanya. Seperti penjahit yang tahu soal popok di bahu jas pengantin.
Menurut hemat saya, masalah hanyalah ada karena kita telah jauh dari fitrah kita. Cara menghadapi masalah pun kadang terlalu melihat kepada fakta-fakta empiris yang menjadikan lupa bertanya kepada Pencipta kita. Agar fitrah itu kembali, maka kita pun mengakui bahwa Allah adalah Rabb kami, seperti pada hari alastu yang sedang kita lupakan kejadiannya.

Lengang, 09 September 2015, 02:57 am.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar