Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama
(Islam), (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut
(fitrah) itu. Tidak ada perubahan terhadap ciptaan Allah. (Itulah) agama yang
lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak diketahui. (Ar-Rum, 30: 30)
Saya setuju bahwa fitrah manusia adalah berbuat baik.
Pernahkah kamu mendengar perihal hari alastu? (7:
172). Dan apakah kamu mengingatnya? Tentu saja kita hanya harus mempercayainya.
Sebuah perjanjian kokoh bahwa kita adalah makhluk Tuhan yang sempurna. Bersama
kesempurnaan itulah, kita memiliki fitrah untuk menyembah Allah—tentu saja
fitrah untuk berbuat baik.
Fitrah
juga bisa berarti potensi. Bersama
sifat asal ini, manusia cenderung baik, menolong sesama dan mendatangkan
manfaat bagi orang banyak. Tetapi kenyataannya yang banyak terjadi malah
sebaliknya. Jauh dari berbuat baik, berbuat
kesalahan, dan sebagainya. Dari situlah kita merasa punya banyak masalah.
Berbicara
soal masalah, kita pun tahu bahwa manusia memiliki jasmani dan rohani. Bila
jasmaninya sehat, maka rohaninya pun akan sehat. Begitu pun sebaliknya, bila
rohaninya sehat, maka jasmani pun akan sehat. Sayangnya, pada rohani kita yang
terdiri dari akal, hati dan nafsu itu sering tidak termanage dengan baik.
Manusia
yang telah diciptakan sempurna menjadi merasa segala yang ia miliki serba
kekurangan dan ketidak puasan. Nafsu
yaitu segala keinginan, cita-cita, harapan, yang ingin kita penuhi—katanya—demi
kelangsungan hidup kita. Berawal dari nafsu itu, akal memikirkan segala cara
untuk mencapai berbagai keinginan. Sementara hati, bisa kita sebut sebagai
pengendali dari nafsu. Baiklah, kita bisa menyetujui struktur kepribadian dari
teori Sigmund Freud yang menjelaskan bahwa manusia terdiri dari id, ego, dan
super ego. Id berarti nafsu, ego berarti akal, dan super ego berarti hati.
(Kita telah sepakat bahwa hati mesti berbuat baik)
Setelah
akal bekerja dalam pemenuhan nafsu atau keinginan kita, hasilnya hanya ada dua
pilihan, yaitu berhasil dan gagal. Bukan masalah jika kita berhasil, bukan?
Tentu saja menjadi masalah bila kita gagal dan tidak bisa mengatur hati
menghadapi kegagalan.
Misalnya,
dua orang memiliki masalah yang sama—sebut saja Ani dan Wati. Suatu hari ketika
menjelang hari pernikahannya, calon suami mereka kebur dan tidak mau menikah
dengannya tanpa alasan apapun. Ani pun stress. Betapa malunya Ani, sakit hati
sesakit-sakitnya. Tetapi Wati telah bersikap sabar, dan mengatakan, “Wah, Allah
telah menunjukkanku bahwa dia bukanlah jodohku yang baik, dan masih banyak
laki-laki selain dia.” Lalu apa itu masalah? Apa yang beda dari Ani dan Wati
jika masalah mereka adalah diputuskan oleh calon suaminya?
Yap.
Sudut pandang kita terhadap suatu keadaan yang tidak sesuai dengan harapan. Kita
sering menganggap teknologi dan teori pengetahuan bisa menyelesaikan masalah.
Berbagai kegiatan pengentasan masalah masih sering dilihat dari aspek fakta
empiris dan pemikiran manusia. Padahal ada sesuatu yang mesti kita ingat, bahwa
ketika kita punya masalah, maka tanyakanlah kepada Pencipta kita. Dzat Yang
Maha Menciptakan.
Suatu
hari, datanglah seorang laki-laki kepada tukang jahit untuk memesan jas yang
akan digunakan ketika ia menjadi pengantin. Ia menentukan hari sampai jas itu
bisa diambil. Menjelang tenggat waktu jas itu diambil, malamnya si tukang jahit
baru membuatnya. Sayangnya, busa untuk bantalan bahu yang mestinya ada dua, hanya
tinggal sedikit dan cukup untuk satu bantalan. Penjahit pun kebingungan, karena
hari telah malam. Mana ada toko peralatan jahit yang buka 24 jam non-stop?
Akhirnya penjahit pun mondar-mandir memikirkan hal itu. Tiba-tiba ia melihat
anaknya yang sedang tertidur dengan pulas, dan teringat dengan popok bayi
anaknya. Penjahit pun tidak kehilangan akalnya, ia menggunakan popok bayi untuk
bentalan jas bagian bahu. Paginya, jas itu diambil dan segera dipakai untuk
melaksanakan upacara pengantin. Pertanyaannya, siapa yang mengetahui pengantin
itu memanggul popok bayi di bahunya? Yap. Hanya penciptanya.
Maka
bila kita punya masalah, tanyakanlah kepada Dzat Yang Maha Pencipta, karena
hanya Dialah yang tahu segalanya. Seperti penjahit yang tahu soal popok di bahu
jas pengantin.
Menurut
hemat saya, masalah hanyalah ada karena kita telah jauh dari fitrah kita. Cara
menghadapi masalah pun kadang terlalu melihat kepada fakta-fakta empiris yang
menjadikan lupa bertanya kepada Pencipta kita. Agar fitrah itu kembali, maka
kita pun mengakui bahwa Allah adalah Rabb kami, seperti pada hari alastu yang
sedang kita lupakan kejadiannya.
Lengang,
09 September 2015, 02:57 am.