JOURNAL OF SOLITUDE

Solitude is my idea, to meet God

Kamis, 10 September 2015

Tempat Menunggu




___meja makan
Meja kayu berlapis irisan papan warna cokelat serupa
Dua cangkir minuman kesukaanmu yang telah bersanding
Pada wadah nasi bersama lauk untuk malam ini
Telah menghirupkan uap rindu lewat hidungku
Merasuk ke ruang paling lengang
Dalam tubuhku                                                                                          

Telinga terjaga menunggu suara ketukan pintu
Meski selembut tik-tok arloji yang lekat di lingkar tanganmu
Kubayangkan langkahmu menggetarkan daun-daun kering di luar
Serupa kepingan tahu yang telah dingin di atas piring
Sungguh ingin segera kumakan tanpa dendam

Sebuah kursi sepi sudah lama ingin diduduki
Di situlah mataku khusyuk membasahi doa ketika lapar
Sebenarnya ada pertunjukan sesumbul nasi yang menggelepar
Ikan-ikan kian terdampar, piring putih jelas menghampar
Sementara sebatang sendok terbungkam, dan garpu
Semakin menyayat ruang tungguku

___beranda depan
Waktu telah terbuat dari batu-batu gunung
Kau membawanya sebagai pelengkap diorama di beranda
Gulirannya lambat, tertambat langkahmu yang makin sekarat

Di gang depan rumah ada yang merupa lorong cahaya
Aku menelanjangi gelap biar tersingkap dimana kau menyembunyikan cerita
Gerbang rumah tetangga yang bersisian
Pohon berakar kemarau semakin beraroma kematian
Selokan, papan pengumuman, berjajar halaman
Berasal dari dua butir mataku yang menyimpan khawatir
Merasuki sunyi waktu yang terpelintir

___kamar
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhmi6GO9Bhmt2gO4jg3GH12nUbblAUIc5gsC0wcBy35YtlEKuvTHLG8IZSgJqYOMg4loLLdQiGSlGe8AtcGC_T8ZUBABsnW7LQ1rNb1U3gMekLeUE_x6vaQbkgTL3lpCr2Wl_VF4OLqjCAs/s1600/candle3a.jpg
Pada upaya persetubuhan malam dan lengang
Entah kemana aku menempatkan tidur sebelum meningkapmu lewat jendela
Seperti angin yang tidak bertepat hati, menghabiskan berjibun cerita dari kepalanya

Kelambu dan ranjang saling bertukar mimpi di sela tidurku yang ragu
Lampu-lampu dimatikan pada tenggat hari berganti
Setelah kau menyimpan pejamku di gagang pintu yang terkunci

Purwokerto, 01 September 2015 

gambar ini saya ambil dari menulishuruf.blogspot.co.id

Masalah dan Kefitrahan Manusia




Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam), (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan terhadap ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak diketahui. (Ar-Rum, 30: 30)
Saya setuju bahwa fitrah manusia adalah berbuat baik. Pernahkah kamu mendengar perihal hari alastu? (7: 172). Dan apakah kamu mengingatnya? Tentu saja kita hanya harus mempercayainya. Sebuah perjanjian kokoh bahwa kita adalah makhluk Tuhan yang sempurna. Bersama kesempurnaan itulah, kita memiliki fitrah untuk menyembah Allah—tentu saja fitrah untuk berbuat baik.
Fitrah juga bisa berarti potensi. Bersama sifat asal ini, manusia cenderung baik, menolong sesama dan mendatangkan manfaat bagi orang banyak. Tetapi kenyataannya yang banyak terjadi malah sebaliknya. Jauh dari berbuat baik, berbuat kesalahan, dan sebagainya. Dari situlah kita merasa punya banyak masalah.
Berbicara soal masalah, kita pun tahu bahwa manusia memiliki jasmani dan rohani. Bila jasmaninya sehat, maka rohaninya pun akan sehat. Begitu pun sebaliknya, bila rohaninya sehat, maka jasmani pun akan sehat. Sayangnya, pada rohani kita yang terdiri dari akal, hati dan nafsu itu sering tidak termanage dengan baik.
Manusia yang telah diciptakan sempurna menjadi merasa segala yang ia miliki serba kekurangan dan ketidak puasan.  Nafsu yaitu segala keinginan, cita-cita, harapan, yang ingin kita penuhi—katanya—demi kelangsungan hidup kita. Berawal dari nafsu itu, akal memikirkan segala cara untuk mencapai berbagai keinginan. Sementara hati, bisa kita sebut sebagai pengendali dari nafsu. Baiklah, kita bisa menyetujui struktur kepribadian dari teori Sigmund Freud yang menjelaskan bahwa manusia terdiri dari id, ego, dan super ego. Id berarti nafsu, ego berarti akal, dan super ego berarti hati. (Kita telah sepakat bahwa hati mesti berbuat baik)
Setelah akal bekerja dalam pemenuhan nafsu atau keinginan kita, hasilnya hanya ada dua pilihan, yaitu berhasil dan gagal. Bukan masalah jika kita berhasil, bukan? Tentu saja menjadi masalah bila kita gagal dan tidak bisa mengatur hati menghadapi kegagalan.
Misalnya, dua orang memiliki masalah yang sama—sebut saja Ani dan Wati. Suatu hari ketika menjelang hari pernikahannya, calon suami mereka kebur dan tidak mau menikah dengannya tanpa alasan apapun. Ani pun stress. Betapa malunya Ani, sakit hati sesakit-sakitnya. Tetapi Wati telah bersikap sabar, dan mengatakan, “Wah, Allah telah menunjukkanku bahwa dia bukanlah jodohku yang baik, dan masih banyak laki-laki selain dia.” Lalu apa itu masalah? Apa yang beda dari Ani dan Wati jika masalah mereka adalah diputuskan oleh calon suaminya?
Yap. Sudut pandang kita terhadap suatu keadaan yang tidak sesuai dengan harapan. Kita sering menganggap teknologi dan teori pengetahuan bisa menyelesaikan masalah. Berbagai kegiatan pengentasan masalah masih sering dilihat dari aspek fakta empiris dan pemikiran manusia. Padahal ada sesuatu yang mesti kita ingat, bahwa ketika kita punya masalah, maka tanyakanlah kepada Pencipta kita. Dzat Yang Maha Menciptakan.
Suatu hari, datanglah seorang laki-laki kepada tukang jahit untuk memesan jas yang akan digunakan ketika ia menjadi pengantin. Ia menentukan hari sampai jas itu bisa diambil. Menjelang tenggat waktu jas itu diambil, malamnya si tukang jahit baru membuatnya. Sayangnya, busa untuk bantalan bahu yang mestinya ada dua, hanya tinggal sedikit dan cukup untuk satu bantalan. Penjahit pun kebingungan, karena hari telah malam. Mana ada toko peralatan jahit yang buka 24 jam non-stop? Akhirnya penjahit pun mondar-mandir memikirkan hal itu. Tiba-tiba ia melihat anaknya yang sedang tertidur dengan pulas, dan teringat dengan popok bayi anaknya. Penjahit pun tidak kehilangan akalnya, ia menggunakan popok bayi untuk bentalan jas bagian bahu. Paginya, jas itu diambil dan segera dipakai untuk melaksanakan upacara pengantin. Pertanyaannya, siapa yang mengetahui pengantin itu memanggul popok bayi di bahunya? Yap. Hanya penciptanya.
Maka bila kita punya masalah, tanyakanlah kepada Dzat Yang Maha Pencipta, karena hanya Dialah yang tahu segalanya. Seperti penjahit yang tahu soal popok di bahu jas pengantin.
Menurut hemat saya, masalah hanyalah ada karena kita telah jauh dari fitrah kita. Cara menghadapi masalah pun kadang terlalu melihat kepada fakta-fakta empiris yang menjadikan lupa bertanya kepada Pencipta kita. Agar fitrah itu kembali, maka kita pun mengakui bahwa Allah adalah Rabb kami, seperti pada hari alastu yang sedang kita lupakan kejadiannya.

Lengang, 09 September 2015, 02:57 am.

Saya dan Waktu yang Datang Terlalu Cepat



Suatu hari ketika kita berjanji untuk bertemu, kamu telah datang satu jam sebelum saya menatap mukamu. Saya lihat rautmu begitu kusut, seperti habis kesiangan dari bangun tidur siang. Sementara mata temanmu masih terjaga bermain gadget-nya.
“Kau terlambat lagi. Bagaimana? Pergi sekarang?” katamu dengan mata sayu.
Saya hanya diam berdiri di ambang pintu. Masih memandangmu tiduran di sebuah pojok ruangan.
“Dia habis tidur, Fa. Katanya, kelamaan menunggumu.” Kata temanmu yang masih tenggelam dalam dunia mayanya.
Saya hanya bisa meminta maaf. Tersenyum, semanis mungkin.
**
Sore tadi, saya datang terlambat ke ruang kuliah. Mestinya saya berada di ruangan sebelum pukul 15.30 WIB. Tetapi saya datang lebih dari itu. Perasaan saya, waktu belumlah sampai 15 menit dari masa perkuliahan masuk. Saya masuki pintu, dan duduk di pojok kanan depan, persis di dekat teman laki-laki yang saya panggil dengan sebutan Pal. Pada sesi diskusi sore itu, sebelah saya bertanya kepada pemakalah. Sialnya, sehabis dia bicara di kelas, saya langsung menjawab pertanyaannya secara pribadi. Sial. Harusnya saya tidak melakukannya. Saya tahu itu. Kami asyik berdiskusi, tentu saja masih tentang tema perkuliahan saat itu.
“Hei, Farikh. Ternyata kamu di situ.” Kata dosen tiba-tiba. Saya hanya memandangnya dan tersenyum biasa.
Tidak lama kemudian, kami melanjutkan pembicaraan kembali. Dosen itu berdehem, terbatuk-batuk, dan memandang kami.
“Kalian berdua ini mestinya dipisahkan. Duduklah di sini, Farikh.” Kata dosen itu sambil menunjukkan bangku yang masih kosong di depannya. Saya membawa buku catatan dan buku erudit yang baru dipinjam dari perpustakaan.
“Bye.. bye..” ucapku kepada teman saya sambil melambaikan tangan seperti akan berpisah.
“Kamu tadi telat ya Farikh? Ngobrolin apa sama sampingmu?” dosen itu masih memperhatikan saya.
**
Percayalah! Saya tidak pernah terlambat memasuki ruangan kuliahnya pak Kholil Lur Rochman!
Andaikata, ke depannya saya merasa terlambat, saya tidak akan mau membuka pintu kelas, lalu hanya sebuah kalimat meluncur dari mulit dosen itu, “Anda saya bebaskan pergi jalan-jalan kemana saja, yang penting tidak di kelas ini.”
Kamu mesti percaya bahwa saya juga bisa tepat waktu, sayang…
**