Jendela Johari
Setiap nyala langit memeluk sepi
Tirai jendela makin menepi
/1/
Janganlah kamu sembunyi untuk bertemu denganku
Kita bisa bicara lewat jendela yang kubuka
Selama pagi masih mengembun, sore meredam hujan
Di palung matamu tetaplah tempatku berkaca
Orang-orang bisa melihat segala rupa
Biar kutebar hening buluh perindu
Sampai sempurna
/2/
Lihatlah aku, mataku buta
Maka seluruh bunga luruh dalam dahaga
Kudengarkan rintih akar-akar tumbang
Suara kumbang kian menghilang
Lalu kau sembunyikan aku di ceruk nyalang matamu?
Disiksa sesakit-sakitnya
Dipalu rindu bertalu-talu
Sementara tanganku meraba cuaca
Yang paling murka
/3/
Aku merupa angin yang membelaimu pelan-pelan
Kusembunyikan sayap rindu berlepasan
Di balik gorden jendela dekat ranjang
Selembar cermin berkilauan
Sebagai tempatku membaca diri
Dari rangkaian cerita paling fantasi
/4/
Bukan sebab malam aku menutup jendela
Memang yang pulang segera meriba
Purwokerto,24 Mei 2015
Suara Pagi
/1/
terbuat dari apa
hati yang tenang
ketika dapur
menyisakan kalimat-kalimat rindu
tidak terkatakan
/2/
melalui gelombang air
cerek tembaga di atas tungku
dzikir dituang ke dalam cangkir
lalu diseduh
uapnya akan menembus langit
lewat jalan-jalan paling wingit
/3/
melalui gelisah minyak nabati
segala kasih terhimpun tenang
bukankah ketukan talenan tadi
adalah permintaan paling abadi?
Purwokerto, 09 Mei 2015
Ikat Rambut
pernah aku kehilangan ikat rambut
kau menyuntingkan sajak
dengan bunga mawar di telingaku
kaurisaukan fonem dan morfem
diikatnya bait paling ritmis
maaf, jantungku berdebar
seluruh tangan akan menyanggul
jangan nyatakan rindu
sebelum cahaya yang jelita mengecup bibirmu
dan aku sepenuhnya menjadi perempuan
sekarang aku ingin kehilangan ikat rambut
agar kau bisa menyuntingku seperti puisi
Purwokerto, 14 April 2015
Sambal Tomat
Ayah, hari makin kusut
Cakrawala adalah tomat yang digoreng sampai keriput
Dua butir bawang putih, sejumput cabai merah, dan garam ikut berpagut
Terasi dibakar, nyala asap melesap
Merayakan upacara rahasia
Tomat dilumat, mengantar doa ke alamat
Waktu dari segala yang terberkati
Tidak lupa menuang gula, menyembunyikan sakit senantiasa
Makan malam
Kusiapkan nasi dari serpihan rezeki
Kucermati setiap butirannya, menjelma cahaya putih sebelum gulita
Sambil bercerita dan tertawa
Di atas olesan jelantah
Melepasi antah
Alhamdulillah,
Purwokerto, 30 Maret 2015
Jus Tomat
Aku memotong sebutir tomat
Ada doa membunuh yang tersekat
Saat darah mulai mengucur
Sebutir tomat jadi hancur
Dari lubang-lubang parut
Goresan carutmarut
Aku menuangnya ke dalam gelas
Sebelum hatiku ikut mengelupas
Tiada mantra, aku mendengar
Rintih sebutir tomat yang luluh
Telingaku jadi semakin rapuh
Aku menambah air panas dan gula
Melebur bersama
Langit yang makin jingga
Purwokerto, 24 Maret 2015
Farikhatul
‘Ubudiyah, lahir di Banyumas pada Oktober 1995. Mahasiswa Jurusan
Bimbingan Konseling Islam IAIN Purwokerto. Puisinya diantologikan dalam
buku Kampus Hijau (STAINPress: 2015) dan Di Bawah Sadar Di Atas Sadar (FBKI: 2014).
JOURNAL OF SOLITUDE
Solitude is my idea, to meet God
Minggu, 14 Juni 2015
Senin, 08 Juni 2015
Terapi Puisi
Puisi bagi orang awam sering disebut juga karya fiksi
atau hasil dari imajinasi pengarangnya. Padahal, proses kreatif sebuah puisi adalah
manifestasi pengarang dari kecemasan yang ada di pikiran bawah sadar. Puisi, baik bercerita tentang kehidupan
sosial maupun transendental, pada hakikatnya merupakan cara yang ampuh untuk mengurangi
kegelisahan.
Proses kreatif melalui jalan psike yang
diejawantahkan menjadi puisi memiliki makna yang tidak bisa dipandang dari
sudut bahasa saja. Menurut Ratna: faktor psikologis melahirkan unsur sikap
untuk berekspresi, dengan ciri-ciri subjektif imajinatif.[1]
Jalan jiwa ini diidentikkan bahwa pengarang akan menulis ketika berada di tempat
yang sunyi. Freud menyatakan: Penulis sebenarnya membiarkan dirinya sendiri
untuk hidup di dalam dunia khayal mereka, sehingga efektif menyibak prinsip
realitas, lalu menggunakan fantasi mereka secara kreatif.[2]
Meskipun pendapat ini ditentang oleh banyak kalangan, disisi lain pun banyak
orang yang melakukan hal seperti itu.
Abdul Wachid B.S. menyebut proses kreatif
ini dengan jalan spiritual, yaitu: Penyair hanya bertugas sebagai pelaksana
dari suara ruh. Sementara itu, ruh memerlukan badan, yakni bahasa, dan
karenanya suara ruh itu meminta bahasa agar dapat meruang dan mewaktu.[3]
Suara ruh ini yang menyebabkan kurangnya kegelisahan setelah pengarang
menuangkan ke dalam bentuk tulisan.
Puisi sebagai bagian dari karya sastra memiliki
hubungan erat dengan aspek psikologis, atau lebih dikenal dengan psikologi
sastra. Psikologi sastra berfungsi untuk memahami karya sastra dari sisi emosi
pengarang dan karyanya. Albertine Minderop menyatakan bahwa psikologi sastra
dipengaruhi oleh beberapa hal:
Pertama, karya sastra merupakan kreasi dari suatu proses kejiwaan dan
pemikiran pengarang yang berada pada situasi setengah sadar (subconscious) yang
selanjutnya dituangkan ke dalam bentuk conscious. Kedua, telaah
psikologi sastra adalah kajian yang menelaah cerminan psikologis dalam diri
para tokoh yang disajikan sedemikian rupa oleh pengarang sehingga pembaca
merasa terbuai oleh problema psikologis kisahan yang kadang kala dirinya
terlibat dalam cerita.[4]
Karya sastra—dalam hal ini puisi—berkaitan erat
dengan latar belakang kehidupan, emosi, dan pemikiran pengarang. Alur yang terkesan
transenden dan abnormal adalah pemenuhan keinginan yang dibangun oleh pengarang
sekaligus cermin kepribadian yang tersimpan dalam pikiran bawah sadar.
Selain sebagai karya sastra, puisi juga
memiliki nilai kuratif dalam bidang psikoterapi. Terapi ini lebih dikenal
dengan poetry therapy atau terapi puisi. Berbeda dengan kajian sastra,
puisi sebagai terapi tidak menuntut klien memahami simbol, diksi, dan
orisinalitas, tetapi menekankan pada penjiwaan personal dalam berekspresi;
seperti mengungkapkan emosi, perasaan, dan ide.
Kebebasan berekspresi dalam terapi puisi tidak
menghalangi perasaan dalam alam bawah sadar. Konselor dapat menggunakan terapi
puisi dengan menanamkan nilai-nilai moral, keberanian, kesopanan, kemuliaan,
hiburan, motivasi, dan pesan lainnya yang terselubung.[5]
Sastra sebagai cerminan kepribadian mempunyai cermin perilaku baik, sebab ada
hubungan antara alam semesta dengan seniman dan alam semesta dengan karya seni.
Ben Johnson menyatakan bahwa seorang penyair merupakan panutan perilaku baik
yang kelak akan menyebarkan ajaran-ajaran moral sehingga seorang penyair bijak
seyogyanya menjadi orang baik dahulu.[6]
Nicholas Mazza mendefinisikan terapi puisi
adalah “the use of the language arts in theraupetic capacities”.[7]
Lebih
lanjut, ia mengembangkan model terapi puisi menjadi tiga komponen, yaitu:
·
Komponen reseptif/perspektif, termasuk memperkenalkan
karya sastra dalam klinis atau aktivitas kelompok.
·
Komponen ekspresif/kreatif, termasuk
penggunaan tulisan oleh klien dalam klinis atau aktivitas kelompok.
·
Komponen simbolik/seremonial, termasuk penggunaan
metafora, ritual, dan mendongeng dalam klinis atau aktivitas kelompok.[8]
Penggunaan terapi ini bisa dilakukan dengan
memberikan kebebasan kepada klien untuk menulis dan membaca puisi, baik dalam
terapi individu maupun terapi kelompok.
Baru menulis sedikit, saya belum bisa meneruskan. Maaf, maaf.
[1]Nyoman Kutha Ratna, Stilistika: Kajian Puitika
Bahasa, Sastra, dan Budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 96.
[2]Ruth Berry, Freud: Seri Siapa Dia, trans. Frans Kowa, (Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2001), hal. 104.
[3]Abdul Wachid B.S., Proses Kreatif Puisi: “Jalan Spiritual”, “Jalan
Bahasa”, Creative Writing, (Purwokerto: Penerbit Stain Press,
2013), hal. 3.
[4]Albertine Minderop, Psikologi Sastra: Karya Sastra Metode, Teori, dan
Contoh Kasus, (Jakarta: Pustaka Obor, 2013), hal. 55.
[5]Ben Wilson, “Using Poetry in Psychotherapy”, dimuat di International
Journal of Scholarly Academic Intellectual Diversity, Vol. 12 Nomor 1,
2010, hal. 2.
[7]Kathleen Connolly Baker dan Nicholas Mazza, “The Healing Power of
Writing: Applying the Expressive/Creative Component of Poetry Therapy”,
dimuat di Journal of Poetry Therapy, Vol. 17, Nomor 3, 2004, hal. 143.
[8]Kathleen Connolly Baker dan Nicholas Mazza, “The Healing Power of
Writing: Applying the Expressive/Creative Component of Poetry Therapy”,……., hal.
144.
Surat kepada yang Terhormat
Tuan dan nyonya, hari ini
saya izin untuk tidak bekerja seperti yang ditugaskan. Kemarin saya bertemu
dengan pacar saya, dan ia mengatakan bahwa saya terkena penyakit
Hippopotomonstrosesquippedaliophobia. Sekali itu saya membencinya. Tetapi saya tidak bisa menahan rasa
benci kepadanya. Saya bilang akan mengunjungi rumahnya, lewat telepon ia
berkata begini:
“Rumahku adalah kata-kata. Dindingnya dihiasi oleh
morfem dan partikel. Aku ingin kau merawat rumahku dengan gembira. Tetapi
bagaimana jika kau sendiri punya penyakit hippopotomonstrosesquippedaliophobia?
Kau masih mencintaiku, bukan? Kita bisa hidup bersama, menikmati pagi dengan
metafora, aroma diksi, lalu mabuk oleh kata-kata. Pekerjaan kita adalah merangkai
kata-kata, kita punguti huruf demi huruf, lalu kita bisa hidup dan dihidupi
kata-kata. Bagaimana?”
Hari ini saya akan berobat.
Saya akan pergi ke toko furnitur untuk membeli rak buku. Setelah itu saya akan
membeli buku-buku filsafat, spiritual, religi, psikologi, sastra, riset, kamus,
dan koran. Tuan
dan nyonya, jadi, bolehkah saya berlibur untuk hari ini saja?
Tiga bulan yang lalu saya bertemu dengan teman
sebangku saya ketika SMA. Ia mengajakku mampir ke rumahnya, dan saya
menurutinya. Saya diajarkan bagaimana cara menjadi perempuan yang baik. Ia
bilang, istri yang baik adalah yang bisa memasak dengan lezat. Saya percaya
saja, karena masakan ibuku juga rasanya lezat. Berbeda dengan masakan sayurku
yang berasa seperti kolak. Begitu legit. Malam itu saya bercerita kepada pacar
saya. Ia hanya bilang, “kau bisa membuat masakan yang lezat dengan resep ini,
sayang.” Ia menyodoriku buku stilistika. Aku tidak membacanya, sampai sekarang
buku itu entah kemana. Kemarin saya memasak sup ayam, dan rasanya juga masih
seperti kolak.
Tuan dan Nyonya, kira-kira dua bulan yang lalu saya
bertemu dengan sahabat SMP di sebuah pesta pernikahan. Saya merasa sangat
pangling kepadanya. Waktu bertemu, ia memakai kamisol. Entah harus saya bilang
cantik atau ayu. Ia pandai merias diri. Lagi-lagi, saya diajak untuk
mengunjungi rumahnya. Ia mengajari saya bagaimana menjadi perempuan. Katanya,
menjadi perempuan itu setidaknya bisa bersolek setiap hari. Sekali itu saya hanya
mengerutkan kening. Aduh, Nyonya, saya teringat dengan anda waktu itu. Nyonya
setiap hari terlihat sangat cantik. Lah saya, baru pertama memakai bedak saja,
mata saya tiba-tiba iritasi karena ketaburan bedak tadi. Ketika bertemu dengan
pacar saya, ia hanya bilang begini: “Kau adalah perempuan selamanya, sayang. Kau
mau terlihat lebih perempuan? Aku punya tipsnya.” Lalu ia memberiku buku
dongeng serial kancil. Saya sungguh makin tidak mengerti dengannya. Saya hanya
membukanya, ada gambar-gambar berwarna. Seperti kisah-kisah yang pernah saya
dengar dari ibu saya ketika sebelum tidur. Lagi-lagi buku itu entah dimana
keberadaannya.
Atau cerita saya sebulan yang
lalu, sebelum saya bekerja menjadi tukang kebun di rumah tuan dan nyonya. Saya
diusir dari kost karena sudah sebulan tidak membayar. Saya mengemis di rumah
pacar saya untuk tinggal beberapa hari. Kala itu saya sangat senang karena
diizinkan menghuni rumahnya. Rumahnya dirimbuni oleh lembaran-lembaran kertas,
tumpukan buku, dan berjubal rak buku. Saya mendapat tempat tidur di situ. Saya
rasa ruangan itu merebak bau asing bagi hidungku. Entah bau usang atau bau
kecoa. Setiap pagi pacar saya memberikan buku untuk dibaca. Entah sebab apa
pula, suatu hari saya pusing untuk memasuki rumah itu. Sudah dua kali saya
pingsan ketika mencium aroma ruangan.
Nyonya telah menyelamatkan
hidup saya. Setiap pagi saya hanya mencium aroma bunga. Sahabat saya adalah
floret dan putik-putik. Malam kemarin saya bermimpi, saya ditinggal pacar saya.
Rumahnya yang berisi
buku-buku ia jual dan akan dibangun salon kecantikan. Pagi itu saya
meneleponnya dan bercerita tentang mimpi saya. Ia menyatakan bahwa mimpi saya
adalah kebenaran niatannya. Ia bilang, ia ingin menjadikan saya sebagai
perempuan. Maka hari ini saya izin meninggalkan bunga-bunga.
*hippopotomonstrosesquippedaliophobia adalah phobia dengan
kata-kata panjang.
Sajak di Harian Cakrawala edisi Sabtu 30 Mei 2015
Sajak
Farikhatul ‘Ubudiyah
Jam Dinding
Aku punya satu jam dinding di kamar
Setiap
malam menjelma hantu
Dari tiktoknya terlahir roh baru
Malam
itu, tiba-tiba ia meminta makan
Aku
melarangnya, sebab makan tengah malam
hukumnya
haram
Jam
tidak lagi bicara soal waktu
Jam
cumalah pertanda dibaliknya ada penunggu
Jam,
lagi-lagi ingin segera membunuhku?
Sambil
menyembunyikan jantungku
Segala
resah kupintal jadi sesah
Dengan
menghisap nestapa
Jam yang
binasa
Aku
berdoa,
Semoga
arwahnya kembali sebelum pagi
Purwokerto, 29 April 2015
Malam
Paling Cahaya
Berkacalah
di tepi kolam rumahku
Semoga
cahaya jatuh ke dalamnya
Lihat
juga wajahmu dari kaca jendela kamarku
Pasti
ada belantik yang menusuk tubuhmu
dengan warna
bianglala
Juga,
pasang bola matamu ke lampu taman yang kesepian
Ada ruh
terjatuh di kelopak bunga padma
Percayalah,
cahaya adalah bias air mata
Mengalir dari tebing-tebing batin
yang paling nisbi
Purwokerto, 03 Februari 2015
Sore
Segala
rahasia telah kutumpahkan kepada perahu-perahu,
angin, pasir, dan langit magenta
kulihat hatimu terapungapung di muara
aku
segera bertanya padamu tentang arah barat
biar kita makin fasih melewati usia cahaya
ayolah pergi, laut sudah tidak mau memberi jarak
usah meninggalkan
pesan apapun pada dedai ombak
maka
segala yang berkecibak, hanya nelayan yang bisa merombak
menjadi
doa
Kebumen,
03 Mei 2015
Perjamuan
Aku akan
bercerita ihwal sebuah pesta
Kebahagiaan
hanyalah milik juru masak yang seharian merenung di dapur
Biji
pala dipenggal, menimang segala cela yang harus dicerna
Bubuk
merica makin gelisah, mengarungi segala resah kuah
Kutuang
kentang dipotong dadu, cincang ayam kubuat kaldu
Kepada
sup, jadilah. Ke dalam mangkuk tercurahlah
Ini,
kuletakkan hatiku biar menggoda lidahmu
Lewat ujung sendok yang kautanam
Sebelum kaulumat sampai lembut
Semantara
entah kapan api tungku tuntas memberiku luka
Bahkan
kuah santan berona cakrawala
Meleleh,
tidak juga mengajari orang-orang merasakan kenyang
Purwokerto, 05 Mei 2015
Langganan:
Postingan (Atom)