JOURNAL OF SOLITUDE

Solitude is my idea, to meet God

Senin, 06 Oktober 2014

Doa



Sebelum purnama luruh di saat subuh
aku memotongnya dengan ilalang yang kembang
separuh kukunyah menjadi sarapan pagi
dan separuh kukantongi
agar tubuhku menjelma cahaya

Purwokerto, Juni 2014

Ikat Rambut



Mencintaiku, telah kauikat rambutku dengan tali pemberi napas. dibawanya rahasia-rahasia, tersimpan di celah untaian mahkota. Kusisiri tiap helai dengan cahaya matamu. dan kaususuri lewat degup jantugku. sehingga kau dan aku menyatu.
urailah rambutku ini, yang sudah lurus memanjang. sama seperti usia yang merambati mentari. kepanglah dahulu dengan jemarimu, agar rahasia menjaga. setelah itu tolong ikatlah rambutku dengan lingkar cintamu, dan Cinta-Nya.

Purwokerto, 21 Mei 2014

Obor



Entah yang keberapa kalinya kau melesat. hilang entah kemana. sedangkan ranting-ranting bambu tidak pernah mendesau, menangis, atau pun berteriak: memanggil namamu. dan aku harus menjelma bulan, agar bisa menyalakan malam yang demikian menyayat nadiku: dengan ilalang yang menusuk malam. dan angin yang menjelma petir. mengoyak jantungku; sampai berebut nyawa dengan Izrail.
Aku harus menyusuri jalanan sunyi, yang dihiasi nyala pucat, seperti di tepi gerbang rumahmu.

Purwokerto, Mei 2014

Perempuan



begini katamu;
setelah musim kemarau masak
aku mesti menyerap getah daun jati yang ranggas
menyimpannya di lembar almanak
dengan jejak air mata

begini kataku;
musimku sudah luruh
bersama bau anyir tubuhmu
yang dibalut kembang dalam ritus sunyi

Purwokerto, Agustus 2014

Pertunjukan




-di Taman Arcawinangun

di bawah pohon kersem
aku tahu
kemana usia berlabuh

gadis-gadis kecil berlarian, mengejar matahari
melewati ritus pemakaman perawan
yang mati siang tadi
dengan taburan kembang
diwakili kesucian kembar mayang

; di taman mengarah senja, sepasang pacar tertawa
bermain ayunan, menghadap taman kamboja
didiskusikannya tentang hari kenduri
mengarak dua kembar mayang

gadis kecil berlarian, membawa papan congklak
menuju gazebo taman
“sepasang pacar, apa yang sedang kau cari
ambil saja di depan nisan itu.”

“sialan!”

dan aku kejatuhan buah kersem
meluncuri rambutku, menuju selokan
yang tiba-tiba mengair bau anyir
; mungkin dari seorang perawan!

Purwokerto, September 2014

Bola-bola Air



tidak ada yang lebih niscaya daripada bolabola air. setiap gelembungnya menjelma replika bianglala, lalu kau mengaca kepadanya.
Setelah kau tiupkan rahim bolabola air, udara di dalamnya menyimpan seribu kenangan. berserak di pelataran batinmu. memoar sebelas tahun silam.
Lalu seekor kupukupu terbang menyusuri musim rahasia di hatimu, mengisap rindu kepada satu. metamorfosa: kau meninggalkan euforia. dan bertapa menyusun jelaga pada tubuhmu.
Aih, sebaiknya jangan kau lakukan itu, sayang. Bolabola air masih terbang ke pangkuanmu yang menghampar. Ikuti angin di matamu, angan di batinmu. Menghempaskannya di tubuh hawa, bukan berarti kau ikut mati di pusaran waktu.
Masih ada rahim yang bakal lahirkan bolabola air. Katamu, ia bersama angan yang nisbi.
Purwokerto, Oktober 2014