ia, seperti daundaun yang gugur di musim semi
ditatapinya almanak, lalu ia ratapi dengan jejakjejak
air mata
menghitung musim yang
kini entah milik siapa
ia, sebagai pemilik November bermusim kemarau
diluruhkannya kelopak bunga raya
sebagai penanda buku (bersampul cahaya
di atas bumi Jawa, yang memberi pertanyaan muskil
beraksara pegon antara halaman 16-17)
sambil bercerita kepada almanak meja
lalu menangis, dan memanggil-manggil bunda
“bunda, tutuplah jendela!
aku tidak mau melihat daundaun yang luruh
berserakan, di baliknya
masih menyimpan getah berbau anyir, bunda
di manakah aku harus menemui Tuhan?”
ia, menjerit sekeras-kerasnya
mengingat mimpi buruk semalam
Purwokerto, November 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar