Berprasangka itu tidak baik. Saya tahu itu.
Bagaimanapun, ketika seorang teman yang biasa bercanda, suka ngomel-ngomel, dan
kesana-kemari, kok tiba-tiba dia menjadi pendiam dan saya merasa dimusuhi.
Dalam kuliah psikologi sosial biasa disebut dengan atraksi. Saya tidak akan
membahas teori psikologi sosial itu.
Teman saya menjadi diam sejak saya membawa
benda yang dia takuti. Lebih tepatnya dia fobia. Dia tidak ngomel seperti
biasanya, merasa geli dengan menggidikkan kepala. Tetapi langsung pergi meninggalkan
saya.
Bisa dihitung berapa lama, dia duduk di
tangga Laboratorium Fakultas. Dia diam. Saya menyapa. Dia balas menjawab
seadanya, sekedar bilang iya atau tidak apa-apa. Saya pergi. Pura-pura abai.
Bercerita kepada kawan-kawan, bahwa hari ini dia aneh. Ternyata kawan yang lain
pun merasa demikian. Saya menyangka ada yang tidak beres dalam hari itu.
Apalagi saya, sangat merasa bersalah. Barangkali dia marah karena saya
menyinggung soal fobia di depan kawan-kawan.
Biasanya, kami pulang bareng dari kampus.
Tetapi, lagi-lagi, dia lebih memilih pulang sendiri. Di depan gerbang kampus
saya menunggu teman yang lain. Dia berjalan menjauhi gerbang, belok ke arah
lawan dari keberadaan saya. Kecurigaan, rasa bersalah, dan pertanyaan “ada
apa?” mendengung-dengung di otak saya.
Hari berikutnya dia tidak kelihatan di
dapur redaksi persma. Keesokannya lagi, dia duduk di kursi depan meja redaksi. Saya
menyapanya. Dia menjawab seadanya. Begitu saya meletakkan tas, dia bergegas
pergi. Katanya, mau kuliah. Saya membuka laptop dan mengerjakan tugas kuliah.
Selang beberapa lama, dia kembali. Masih diam. Saat ditanya kenapa pulang
cepat, katanya tidak ada dosen. Dia duduk di lantai. Saya mengajaknya ngobrol,
tapi dia jawab dengan singkat. Itu membuat saya jengah, dan lebih memilih diam
mengerjakan tugas.
Di ruangan ini, hanya terdengar suara ketikan keyboard di
laptop saya. Ternyata dia tertidur berbantal tumpukan majalah. Tiba-tiba dia
buru-buru membuka pintu belakang. Gagang pintu dihempaskan. Sejenak, suara
pintu kamar mandi tertutup meninggalkan suara lebih keras. Saya bangkit dan
menunggui pintu. Setelah keluar dari kamar mandi, lengan bajunya basah. Saya
memegang tangannya, dan memapahnya untuk duduk. Tangannya dingin. Wajahnya
pucat. Dia mual-mual. Saya mencari minyak kayu putih ke ruang tetangga UKM.
Dioeskan ke tubuhnya, dan sedikit memijit tengkuknya.
Kali itu, saya teringat cerita dosen
psikologi saya, ketika bercerita tentang dahsyatnya sentuhan. Ketika seorang
menangis sampai tersengal-sengal—dalam bahasa jawa Banyumasannya
kamisesegen—dosen itu meminta izin untuk menyentuh kedua telapak tangannya. Dia
menyentuhnya, dan mengucapkan motivasi sampai kliennya tenang dan lega.
Kembali ke teman saya tadi. Dia pun
bercerita tanpa harus saya tanya. Intinya, dia sakit sejak tiga hari yang lalu,
dan tidak mau orang lain ada yang tahu. Saya segera mengambil bekal makanan,
dan membukanya biar dia makan. Dia tidak mau. Tetapi malah mual lagi. Saya
mengambilkan kresek untuk wadah, mbok nanti keluar.
Di tempat ini pula, saya juga pernah sakit.
Seorang teman datang dan mencarikan minyak kayu putih. Sehabis itu, dia pergi
untuk membawakan serames nasi, segelas teh panas, dan obat dari apotek. Saya
mengingat betul bagaimana saya tidak berdaya saat itu. Dari kenangan itulah,
saya tahu apa yang harus dilakukan.
Jika menyoal sakit, saya sangat percaya
bahwa sakit fisik berasal dari psikologis. Dengan kata lain biasa disebut
psikoneurosis. Sejak saya percaya hal tersebut, saya jadi suka memesan sakit
dan sehat. Sakit fisik biasanya karen stres
pikiran, yang tidak bisa di-coping. Sialnya, ketika saya ingin sakit entah sekedar
demam, saya tidak bisa. Sebab sedikit mengalami distres langsung saya coping. Ah,
saya ini ngomong apa sih…