JOURNAL OF SOLITUDE

Solitude is my idea, to meet God

Selasa, 23 Februari 2016

Sakit

Berprasangka itu tidak baik. Saya tahu itu. Bagaimanapun, ketika seorang teman yang biasa bercanda, suka ngomel-ngomel, dan kesana-kemari, kok tiba-tiba dia menjadi pendiam dan saya merasa dimusuhi. Dalam kuliah psikologi sosial biasa disebut dengan atraksi. Saya tidak akan membahas teori psikologi sosial itu.
Teman saya menjadi diam sejak saya membawa benda yang dia takuti. Lebih tepatnya dia fobia. Dia tidak ngomel seperti biasanya, merasa geli dengan menggidikkan kepala. Tetapi langsung pergi meninggalkan saya.
Bisa dihitung berapa lama, dia duduk di tangga Laboratorium Fakultas. Dia diam. Saya menyapa. Dia balas menjawab seadanya, sekedar bilang iya atau tidak apa-apa. Saya pergi. Pura-pura abai. Bercerita kepada kawan-kawan, bahwa hari ini dia aneh. Ternyata kawan yang lain pun merasa demikian. Saya menyangka ada yang tidak beres dalam hari itu. Apalagi saya, sangat merasa bersalah. Barangkali dia marah karena saya menyinggung soal fobia di depan kawan-kawan.
Biasanya, kami pulang bareng dari kampus. Tetapi, lagi-lagi, dia lebih memilih pulang sendiri. Di depan gerbang kampus saya menunggu teman yang lain. Dia berjalan menjauhi gerbang, belok ke arah lawan dari keberadaan saya. Kecurigaan, rasa bersalah, dan pertanyaan “ada apa?” mendengung-dengung di otak saya.
Hari berikutnya dia tidak kelihatan di dapur redaksi persma. Keesokannya lagi, dia duduk di kursi depan meja redaksi. Saya menyapanya. Dia menjawab seadanya. Begitu saya meletakkan tas, dia bergegas pergi. Katanya, mau kuliah. Saya membuka laptop dan mengerjakan tugas kuliah. Selang beberapa lama, dia kembali. Masih diam. Saat ditanya kenapa pulang cepat, katanya tidak ada dosen. Dia duduk di lantai. Saya mengajaknya ngobrol, tapi dia jawab dengan singkat. Itu membuat saya jengah, dan lebih memilih diam mengerjakan tugas.
Di ruangan ini, hanya terdengar suara ketikan keyboard di laptop saya. Ternyata dia tertidur berbantal tumpukan majalah. Tiba-tiba dia buru-buru membuka pintu belakang. Gagang pintu dihempaskan. Sejenak, suara pintu kamar mandi tertutup meninggalkan suara lebih keras. Saya bangkit dan menunggui pintu. Setelah keluar dari kamar mandi, lengan bajunya basah. Saya memegang tangannya, dan memapahnya untuk duduk. Tangannya dingin. Wajahnya pucat. Dia mual-mual. Saya mencari minyak kayu putih ke ruang tetangga UKM. Dioeskan ke tubuhnya, dan sedikit memijit tengkuknya.
Kali itu, saya teringat cerita dosen psikologi saya, ketika bercerita tentang dahsyatnya sentuhan. Ketika seorang menangis sampai tersengal-sengal—dalam bahasa jawa Banyumasannya kamisesegen—dosen itu meminta izin untuk menyentuh kedua telapak tangannya. Dia menyentuhnya, dan mengucapkan motivasi sampai kliennya tenang dan lega.
Kembali ke teman saya tadi. Dia pun bercerita tanpa harus saya tanya. Intinya, dia sakit sejak tiga hari yang lalu, dan tidak mau orang lain ada yang tahu. Saya segera mengambil bekal makanan, dan membukanya biar dia makan. Dia tidak mau. Tetapi malah mual lagi. Saya mengambilkan kresek untuk wadah, mbok nanti keluar.
Di tempat ini pula, saya juga pernah sakit. Seorang teman datang dan mencarikan minyak kayu putih. Sehabis itu, dia pergi untuk membawakan serames nasi, segelas teh panas, dan obat dari apotek. Saya mengingat betul bagaimana saya tidak berdaya saat itu. Dari kenangan itulah, saya tahu apa yang harus dilakukan.

Jika menyoal sakit, saya sangat percaya bahwa sakit fisik berasal dari psikologis. Dengan kata lain biasa disebut psikoneurosis. Sejak saya percaya hal tersebut, saya jadi suka memesan sakit dan sehat. Sakit fisik biasanya karen stres pikiran, yang tidak bisa di-coping. Sialnya, ketika saya ingin sakit entah sekedar demam, saya tidak bisa. Sebab sedikit mengalami distres langsung saya coping. Ah, saya ini ngomong apa sih…