Mestinya dia keluar rumah sore tadi, meski hanya untuk membaca
cakrawala dan berjalan mengikuti arah kaki. Rencananya begitu. Tetapi dia
mengurungkan niatnya. Katanya, hari terlalu cerah untuk dinikmati. Sementara ia sedang jatuh cinta kepada
hujan. Mungkin ini terasa konyol jika kita dengar sebagai alasan. Ya, ia memang
jarang keluar rumah; kecuali berangkat kuliah dan latihan di sanggar tari.
Julia,
dengarkan aku dahulu. Semenjak laki-laki bernama Gandhi pergi, dia
mengejawantahkan kerinduannya dengan memeluk hujan. Dia duduk bersemadi tepat
di pancuran hujan dari talang atap rumah. Membiarkan kepalanya terpukul oleh
derasnya air talang. Jangan tanyakan kepadaku pasal alasan dia yang begitu.
Setahuku, semenjak dua bulan yang lalu dia melakukan hal itu setiap kali hujan
menderas.
Begini,
Julia. Dua bulan yang lalu, aku bersamanya duduk di kantin kampus sebab
terkurung hujan yang lebat. Kami merasa terjebak dan tidak bisa pergi
kemana-mana; apalagi untuk pulang. Saat itu Gandhi datang dan bergabung bersama
kami. Tetapi aku segera pergi untuk memesan nasi. Aku tidak tahu apa yang
mereka bicarakan. Ya, memang mestinya begitu. Sebab itu bukan urusanku. Namun
setelah aku kembali bersama mereka, dia segera pamit pulang. Padahal aku baru
saja memesan makan, Julia.
“Hujan masih
deras. Tunggulah sampai ia reda, Anna.” aku mendengar Gandhi mencegahnya untuk
segera pulang.
Tetapi dia
hanya tersenyum kepadaku dan Gandhi. Berdiri, dan pergi meninggalkan kami. Aku
membaca langkahnya yang sangat berat. Ia berjalan pelan, kepalanya merunduk,
dan nyampai pada pelukan hujan. Aku diam saja. Menikmati nasi dan teh hangat
yang kupesan tadi. Gandhi hanya berpindah meja. Barangkali menghindari
pertanyaan yang berjibun di kepalaku.
Kumohon,
Julia. Jangan ajak dia pergi malam ini bersamamu. Aku takut kalau dia demam
lagi. Pergilah besok sore, selepas ia keluar dari latihan tari di sanggar. Jika
perlu, kau bersamanya selama ia latihan. Pulanglah ke kosmu, sebab ia sudah
tertidur sejak tadi. Lupakan perbincangan ini, anggap saja kau tahu seperti
mendapat intuisi.
***
Jam empat
sore tadi, setelah dia selesai latihan, aku mengajaknya pergi ke sebuah toko
buku. Kebetulan di luar sedang gerimis. Ia segera melipat selendangnya, dan
menuntunku keluar.
“Sebenarnya aku membawa payung lipat. Tapi, apa kau berkenan untuk menikmati
gerimis ini sama-sama, Julia?” dia mulai berbicara kepadaku pasal gerimis. Aku
mengingat perbincangan kita semalam, Hanna.
Dia tidak
peduli dengan pakaian dan tasnya yang basah. Kami berjalan perlahan,
benar-benar menikmati gerimis.
“Kau benar
tidak apa-apa, Julia, jika aku mengajakmu berjalan menembus hujan?” ia bertanya
sekali lagi. Aku menegaskan bahwa aku bersedia.
“Semenjak
dua bulan yang lalu, aku begitu mencintai hujan.” Ia mulai bercengkerama.
“Biarlah seluruh musim mengetahui kerinduanku kepada Gandhi. Di kotaku, aku
menunggunya. Sudah empat puluh tiga hujan yang aku temui. Ini yang ke empat
puluh empat. Aku selalu berdiskusi dengan ricik airnya. Barangkali karena
hatiku yang kemarau, hujanlah yang akan menggemburkan ladang batinku. Aku tidak
peduli dengan omelan Hanna, sebab sudah tujuh kali aku demam setelah
menyetubuhi hujan. Aku tidak peduli, Julia. Jika dua bulan lagi kemarau datang,
aku akan tetap mencintai hujan.”
Kamu masih
mendengar ceritaku, Hanna? Memangnya dimanakah Gandhi?
“Oow, oh.
Gandhi? Kudengar setelah ia lulus langsung pulang; dan kemarin ia baru menikah
dengan gadis dari kotanya.” Katamu
dengan air muka yang innocent.
***
Purwokerto, Januari 2015
Cerma ini dimuat di Minggu Pagi edisi Minggu II Februari 2015