JOURNAL OF SOLITUDE

Solitude is my idea, to meet God

Minggu, 15 Februari 2015

Perempuan Hujan


 
Mestinya dia keluar rumah sore tadi, meski hanya untuk membaca cakrawala dan berjalan mengikuti arah kaki. Rencananya begitu. Tetapi dia mengurungkan niatnya. Katanya, hari terlalu cerah untuk dinikmati. Sementara ia sedang jatuh cinta kepada hujan. Mungkin ini terasa konyol jika kita dengar sebagai alasan. Ya, ia memang jarang keluar rumah; kecuali berangkat kuliah dan latihan di sanggar tari.
Julia, dengarkan aku dahulu. Semenjak laki-laki bernama Gandhi pergi, dia mengejawantahkan kerinduannya dengan memeluk hujan. Dia duduk bersemadi tepat di pancuran hujan dari talang atap rumah. Membiarkan kepalanya terpukul oleh derasnya air talang. Jangan tanyakan kepadaku pasal alasan dia yang begitu. Setahuku, semenjak dua bulan yang lalu dia melakukan hal itu setiap kali hujan menderas.
Begini, Julia. Dua bulan yang lalu, aku bersamanya duduk di kantin kampus sebab terkurung hujan yang lebat. Kami merasa terjebak dan tidak bisa pergi kemana-mana; apalagi untuk pulang. Saat itu Gandhi datang dan bergabung bersama kami. Tetapi aku segera pergi untuk memesan nasi. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Ya, memang mestinya begitu. Sebab itu bukan urusanku. Namun setelah aku kembali bersama mereka, dia segera pamit pulang. Padahal aku baru saja memesan makan, Julia.
“Hujan masih deras. Tunggulah sampai ia reda, Anna.” aku mendengar Gandhi mencegahnya untuk segera pulang.
Tetapi dia hanya tersenyum kepadaku dan Gandhi. Berdiri, dan pergi meninggalkan kami. Aku membaca langkahnya yang sangat berat. Ia berjalan pelan, kepalanya merunduk, dan nyampai pada pelukan hujan. Aku diam saja. Menikmati nasi dan teh hangat yang kupesan tadi. Gandhi hanya berpindah meja. Barangkali menghindari pertanyaan yang berjibun di kepalaku.
Kumohon, Julia. Jangan ajak dia pergi malam ini bersamamu. Aku takut kalau dia demam lagi. Pergilah besok sore, selepas ia keluar dari latihan tari di sanggar. Jika perlu, kau bersamanya selama ia latihan. Pulanglah ke kosmu, sebab ia sudah tertidur sejak tadi. Lupakan perbincangan ini, anggap saja kau tahu seperti mendapat intuisi.
***
Ah, ya. Kamu benar, Hanna. Siang tadi aku melihat saudaramu duduk di sebuah gazebo kampus. Aku segera menghampirinya. Tetapi ia bilang akan pergi latihan ke sanggar tari. Aku meminta izin untuk mengikutinya, dan kami bercerita tentang banyak hal. Termasuk menceritakanmu. Di sanggar, aku hanya menjadi penonton. Tentu saja, karena aku tidak berbakat dalam bidang tari-tarian. Aku berusaha menikmati keluwesan perempuan yang_katanya_ mereka sedang menari gambyong untuk sebuah pementasan.
Jam empat sore tadi, setelah dia selesai latihan, aku mengajaknya pergi ke sebuah toko buku. Kebetulan di luar sedang gerimis. Ia segera melipat selendangnya, dan menuntunku keluar.
“Sebenarnya aku membawa payung lipat. Tapi, apa kau berkenan untuk menikmati gerimis ini sama-sama, Julia?” dia mulai berbicara kepadaku pasal gerimis. Aku mengingat perbincangan kita semalam, Hanna.
Dia tidak peduli dengan pakaian dan tasnya yang basah. Kami berjalan perlahan, benar-benar menikmati gerimis.
“Kau benar tidak apa-apa, Julia, jika aku mengajakmu berjalan menembus hujan?” ia bertanya sekali lagi. Aku menegaskan bahwa aku bersedia.
“Semenjak dua bulan yang lalu, aku begitu mencintai hujan.” Ia mulai bercengkerama. “Biarlah seluruh musim mengetahui kerinduanku kepada Gandhi. Di kotaku, aku menunggunya. Sudah empat puluh tiga hujan yang aku temui. Ini yang ke empat puluh empat. Aku selalu berdiskusi dengan ricik airnya. Barangkali karena hatiku yang kemarau, hujanlah yang akan menggemburkan ladang batinku. Aku tidak peduli dengan omelan Hanna, sebab sudah tujuh kali aku demam setelah menyetubuhi hujan. Aku tidak peduli, Julia. Jika dua bulan lagi kemarau datang, aku akan tetap mencintai hujan.”
Kamu masih mendengar ceritaku, Hanna? Memangnya dimanakah Gandhi?
“Oow, oh. Gandhi? Kudengar setelah ia lulus langsung pulang; dan kemarin ia baru menikah dengan gadis dari kotanya.”  Katamu dengan air muka yang innocent.
***
Purwokerto, Januari 2015

Cerma ini dimuat di Minggu Pagi edisi Minggu II Februari 2015